Pendapat Pertama : Tidak menggunakan
Sayyidina, dengan alasan :
Dari Abu Mas’ud al-
Anshari ia berkata; Rasulullah saw. mendatangi kami sedang kami di majlis Sa’ad
bin Ubadah, maka Basyir bin Sa’ad berkata; Allah swt. Memerintahkan kami agar
bershalawat kepadamu wahai Rasulullah, maka bagaimana kami bershalawat kepamu?.
Abu Mas’ud al- Anshari berkata; Rasulullah saw. diam sehingga….kemudian
Rasulullah saw. bersabda; Bacalah
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى
مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ
عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِى
الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.
Allahumma
shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad…” dan seterusnya hingga selesai. (HR. Muttafaq ‘alaih)
Dalam konteks shalat, lafal Shalawat Nabi dalam hadits di atas (tanpa
lafal sayyidina) sudah baku sebagaimana yang telah di ajarkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan merupakan bagian dari praktek shalat
Rasulullah. Sedangkan di luar konteks shalat, tidak ada larangan bahwa lafal
itu harus persis dengan yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Pendapat kedua : Di anjurkan melafazkan sayyidina, dengan alasan :
Lafaz
Shalawat tersebut adalah jawaban atas pertanyaan sahabat, jadi wajarlah
jika beliau tidak menyebutkan gelar atau nama penghormatan disaat menyebut
namanya, yang sebenarnya sangat pantas bagi beliau. Sama halnya
dengan seseorang ketika ditanya, siapa namamu? atau bagaimana cara kami
menyebut namamu?. Bagi orang yang memiliki rasa rendah hati tidak mungki akan
menjawab dengan disertakan gelar yang dimilikinya.
Dalam
Al-Qur’an Allah melarang memanggil Rasul saw. dengan panggilan sama dengan yang
lainnya,sebagaimana dalam firmanNya : Janganlah kamu jadikan panggilan
Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang
lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur
pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa azab yang pedih. (QS. al- Nur:
63).
Mujahid
dan Sai’d bin Jubair selaku ulama tafsir dari kalangan
tabi’in menafsirkan ayat tersebut dengan “jangan kamu memanggil Rasullah saw.
dengan panggilan sama dengan yang lainnya”. Misalnya, kamu memanggil ya
Muhammad, tapi penggillah ya Rasulallah.
Dalam
QS. Ali Imran: 39 Allah swt. menyebut Nabi Yahya dengan Sayyid (menjadi
ikutan), Allah swt. menyebut Nabi Yahya
as. sebagai seorang Sayyid (seorang pemimpin dan ikutan). Kalau Nabi Yahya as.
dikatakan seperti itu maka Nabi Muhammad saw juga sangat pantas mendapat gelar
itu karena beliau adalah pemimpin bagi anak cucu Adam as. beliau merupakan
rahmat bagi seluruh alam. Karenanya sangat di anjurkan menggunakan kata
Sayyidina dalam shalawat, baik dalam shalat maupun di luar shalat
Salah
seorang sahabat yang bernama Rifa’ah bin Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah
ibn Rafi’) berkata; Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah
saw. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’ beliau membaca: Sami’allahu
Liman Hamidah, tiba-tiba salah seorang makmum berkata;
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah
selesai shalat Rasulullah bertanya: Siapakah yang mengatakan kalimat itu tadi?.
Orang yang yang dimaksud menjawab: Saya Wahai Rasulullah. Lalu Rasulullah saw.
Bersabda: Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba-lomba untuk
menjadi yang pertama mencatatnya. (HR.
Bukhari, Abu Daud, Al- Nasa’i, Ahmad, dan Imam Malik) .
Imam
al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah bin
Rafi ini beliau katakan: Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan kepada
beberapa perkara.
1
Menunjukkan kebolehan menyusun
zikir yang tidak ma’tsur di dalam shalat
selama tidak bertentangan dengan yang ma’tsur (yang berasal dari Nabi saw).
2. Boleh mengeraskan suara zikir selama tidak mengganggu orang yang
ada di dekatnya.
3. Orang yang bersin dalam shalat diperbolehkan mengucapkan al- hamdulillah tanpa dihukumi makruh. [ Ibn Hajar, Fathu al- Bari, jild.
II, h. 287]
Dengan demikian tidak ada masalah dan boleh hukumnya menambahkan
kata Sayyidina dalam shalawat baik dalam shalat maupun diluar shalat.
Karena tambahan kata Sayyidina sesuai dengan dasar syari’at dan tidak
bertentangan sama sekali. Dalam hadis shahih Nabi saw. bersabda;
انَا سَيِّدُ النَّاسِ
يَوْمَ القِيَامَةِ
Saya adalah pemimpinnya manusia pada
hari kiamat. (HR. Bukhari,
Muslim,al-Tirmidzi).
Dalam
kasus yang lain, Abdulah bin Umar ra. menambahkan lafaz tahiyat sebagaimana dalam HR Abu Daud dalam
Sunannya. Adapun lafaz tahiyat yang
diajarkan oleh Rasulullah saw. adalah;
...أشْهَدُ أنْ لّا إلهَ
إلّا الله قَالَ ابْنُ عُمَرَ زِدْتُ [ فِيْهَا ] وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ….
Asyhadu
an la Ilaha Illallah, Ibn Umar berkata; saya menambahkan Wahdahu la syarikalah…
(HR.
Abu Daud). Hadis di atas menunjukkan
kebolehan munyusun zikir atau bacaan tertentu selama tidak bertentangan dengan
syari’at.
Kata Sayyidina asalnya adalah Sayyid yang berarti seorang pemimpin, yang
kata kerjanya adalah Saada-Yusudu (ساد- يسود) jika Dimuta’addikan menjadi Sawwada – Yusawwidu (سوّد
– يسوّد) yang berarti yang
dimuliakan, yang membawahi suatu kaum, dan mengangkat jadi pemimpin.
Dengan demikian jika mengawali shalawat kepada Nabi saw. maka itu sama
halnya dengan; memuliakan, menghormati
dan mengangkat Nabi sebagai pemimpinnya. Apakah pantas hal itu dikatakan suatu
kesalahan?. Semua umat Islam akan menjawab bahwa hal itu sangat pantas
untuk mengawali nama Rasulullah saw
dengan kata Sayyid. Adapun dengan hadis yang mengatakan
bahwa,
لَا تُسَيِّدُونِي فِي
الصَّلَاةِ
Artinya: Janganlah mensayyidkan aku dalam shalat.
Hadis tersebut akan anda temukan dalam kitab-kitab fiqhi di antaranya
dalam kitab al- Fatawa al- Fiqhiyyah al- Kubra bab, Shifatu al- Shalah Tapi,
Ulama telah mengomentari bahwa hadis tersebut tidak ada asalnya. Bahkan Maudhu’
atau palsu. Salah satu alasanya adalah
karena hadis tersebut mengandung Lahn ( lafaz Latusayyiduni (لا
تسيدونى), menyalahi
kaidah yang telah dikenal karena seharusnya berbunyi Latusawwiduni (لا
تسودونى). Sedangkan Nabi saw.
sebagai seorang Rasul tidak mungkin mengucapkan lafaz yang salah (mengandung
lahn).
Kitab al- Duru al- Mukhtar menyebutkan bahwa menambahkan kata Sayyidina
sebelum nama Nabi saw. adalah lebih mulia daripada tidak membacanya, karena itu
merupakan adab kesopanan terhadap Rasulullah saw. bahkan ini adalah pendapat
yang telah diakui dan dipercayai.
KESIMPULAN :
1. BAGI YANG
MENGIKUTI PENDAPAT BAHWA SHALAWAT DALAM SHALAT TANPA MENGGUNAKAN SAYYIDINA
DENGAN ALASAN TIDAK ADA DALIL YANG MENYATAKAN HAL ITU MAKA ITU DIPERBOLEHKAN
SEDANGKAN YANG BERPENDAPAT BAHWA MELAFAZKAN SAYYIDINA DALAM SHALAT ITU ADALAH
DI ANJURKAN DENGAN ALASAN SEBAGAI BENTUK
PENGHORMATAN DAN MERUPAKAN PENGMALAN TERHADAP PERINTAH ALLAH DALAM QS. ANNUR :
63 MAKA ITUPUN DIPERBOLEHKAN DAN KEDUA PENDAPAT INI DIKUATKAN OLEH PENDAPAT
PARA ULAMA BAIK MUTAQADDIMIN MAUPUN MUTAHADDITSIN.
2. PERBEDAAN INI HANYA BERSIFAT FURU’IYYAH (CABANG) TIDAK BERSIFAT POKOK. JADI KITA HARUS DEWASA. OLEH
KARENA ITU, BANYAKLAH MEMBACA AGAR KITA TIDAK MUDAH MENYALAHKAN. SEKARANG KITA
TINGGAL BEBAS MEMILIH MAU MELAFAZKAN SAYYIDINA ATAU TIDAK. JAUHILAH SIKAP
PALING BENAR DAN MENYALAHKAN ORANG LAIN. KARENA SIKAP INI MENCERMINKAN SIKAP
IBLIS YANG MERASA PALING SUCI.
______________
Disampaikan Oleh : Ust.
Azkan Ihsan, S.Sos.I / 081379997779 Pada
Pengajian Rutin Mingguan
2 komentar:
KUMSI atu ari kitu mah.. :P
bacanya terlalu emosi jd memandang komentar itu sbagai pembelaan diri..
laksanakan saja keinginanmu..
bid'ah atw tidaknya sholat mu, jwabanya di akhirat nanti.. :)
ass wr wb.
numpang copy paste ya ustad,,ane cantumkan ko sumbernya
Posting Komentar