Kamis, 15 Desember 2011

Lafaz Sayyidina Dalam Shalawat Nabi


Pendapat Pertama : Tidak menggunakan Sayyidina, dengan  alasan :


Dari Abu Mas’ud al- Anshari ia berkata; Rasulullah saw. mendatangi kami sedang kami di majlis Sa’ad bin Ubadah, maka Basyir bin Sa’ad berkata; Allah swt. Memerintahkan kami agar bershalawat kepadamu wahai Rasulullah, maka bagaimana kami bershalawat kepamu?. Abu Mas’ud al- Anshari berkata; Rasulullah saw. diam sehingga….kemudian Rasulullah saw. bersabda; Bacalah

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِى الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.      

 Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad…” dan seterusnya hingga selesai. (HR. Muttafaq ‘alaih)

Dalam konteks shalat, lafal Shalawat Nabi dalam hadits di atas (tanpa lafal sayyidina) sudah baku sebagaimana yang telah di ajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan merupakan bagian dari praktek shalat Rasulullah. Sedangkan di luar konteks shalat, tidak ada larangan bahwa lafal itu harus persis dengan yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pendapat kedua : Di anjurkan melafazkan sayyidina, dengan alasan :
                                                                                                                                                      

Lafaz Shalawat tersebut adalah jawaban atas pertanyaan sahabat, jadi wajarlah jika beliau tidak menyebutkan gelar atau nama penghormatan disaat menyebut namanya, yang sebenarnya sangat pantas bagi beliau. Sama halnya dengan seseorang ketika ditanya, siapa namamu? atau bagaimana cara kami menyebut namamu?. Bagi orang yang memiliki rasa rendah hati tidak mungki akan menjawab dengan disertakan gelar yang dimilikinya.

Dalam Al-Qur’an Allah melarang memanggil Rasul saw. dengan panggilan sama dengan yang lainnya,sebagaimana dalam firmanNya : Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.  (QS. al- Nur: 63).

Mujahid dan Sai’d bin Jubair selaku ulama tafsir dari kalangan tabi’in menafsirkan ayat tersebut dengan “jangan kamu memanggil Rasullah saw. dengan panggilan sama dengan yang lainnya”. Misalnya, kamu memanggil ya Muhammad, tapi penggillah ya Rasulallah.

Dalam QS. Ali Imran: 39 Allah swt. menyebut Nabi Yahya dengan Sayyid (menjadi ikutan),  Allah swt. menyebut Nabi Yahya as. sebagai seorang Sayyid (seorang pemimpin dan ikutan). Kalau Nabi Yahya as. dikatakan seperti itu maka Nabi Muhammad saw juga sangat pantas mendapat gelar itu karena beliau adalah pemimpin bagi anak cucu Adam as. beliau merupakan rahmat bagi seluruh alam. Karenanya sangat di anjurkan menggunakan kata Sayyidina dalam shalawat, baik dalam shalat maupun di luar shalat

Salah seorang sahabat yang bernama Rifa’ah bin Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata; Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah saw. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’ beliau membaca: Sami’allahu Liman Hamidah, tiba-tiba salah seorang makmum berkata;

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ

Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: Siapakah yang mengatakan kalimat itu tadi?. Orang yang yang dimaksud menjawab: Saya Wahai Rasulullah. Lalu Rasulullah saw. Bersabda: Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya. (HR. Bukhari, Abu Daud, Al- Nasa’i, Ahmad, dan Imam Malik) .

Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah bin Rafi ini beliau katakan: Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan kepada beberapa perkara.
1        Menunjukkan kebolehan menyusun zikir yang tidak ma’tsur di  dalam shalat selama tidak bertentangan dengan yang ma’tsur (yang berasal dari Nabi saw).
2.      Boleh mengeraskan suara zikir selama tidak mengganggu orang yang ada di dekatnya.
3.      Orang yang bersin dalam shalat diperbolehkan mengucapkan  al- hamdulillah tanpa dihukumi makruh. [ Ibn Hajar, Fathu al- Bari, jild. II, h. 287]
Dengan demikian tidak ada masalah dan boleh hukumnya menambahkan kata Sayyidina dalam shalawat baik dalam shalat maupun diluar shalat. Karena tambahan kata Sayyidina sesuai dengan dasar syari’at dan tidak bertentangan sama sekali. Dalam hadis shahih Nabi saw. bersabda;

انَا سَيِّدُ النَّاسِ يَوْمَ القِيَامَةِ 

 Saya adalah pemimpinnya manusia pada hari kiamat.  (HR. Bukhari, Muslim,al-Tirmidzi).

Dalam kasus yang lain, Abdulah bin Umar ra. menambahkan lafaz  tahiyat sebagaimana dalam HR Abu Daud dalam Sunannya.  Adapun lafaz tahiyat yang diajarkan oleh Rasulullah saw. adalah;

...أشْهَدُ أنْ لّا إلهَ إلّا الله قَالَ ابْنُ عُمَرَ زِدْتُ [ فِيْهَا ] وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ….

Asyhadu an la Ilaha Illallah, Ibn Umar berkata; saya menambahkan Wahdahu la syarikalah…
(HR. Abu Daud).  Hadis di atas menunjukkan kebolehan munyusun zikir atau bacaan tertentu selama tidak bertentangan dengan syari’at.

Kata Sayyidina asalnya adalah Sayyid yang berarti seorang pemimpin, yang kata kerjanya adalah Saada-Yusudu (ساد- يسود) jika Dimuta’addikan menjadi Sawwada – Yusawwidu (سوّد – يسوّد) yang berarti yang dimuliakan, yang membawahi suatu kaum, dan mengangkat jadi pemimpin.

Dengan demikian jika mengawali shalawat kepada Nabi saw. maka itu sama halnya dengan; memuliakan,  menghormati dan mengangkat Nabi sebagai pemimpinnya. Apakah pantas hal itu dikatakan suatu kesalahan?. Semua umat Islam akan menjawab bahwa hal itu sangat pantas untuk  mengawali nama Rasulullah saw dengan kata Sayyid.  Adapun dengan hadis yang mengatakan bahwa,

لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ Artinya: Janganlah mensayyidkan aku dalam shalat.             

Hadis tersebut akan anda temukan dalam kitab-kitab fiqhi di antaranya dalam kitab al- Fatawa al- Fiqhiyyah al- Kubra bab, Shifatu al- Shalah Tapi, Ulama telah mengomentari bahwa hadis tersebut tidak ada asalnya. Bahkan Maudhu’ atau palsu. Salah satu alasanya adalah  karena hadis tersebut mengandung Lahn ( lafaz Latusayyiduni (لا تسيدونى), menyalahi kaidah yang telah dikenal karena seharusnya berbunyi Latusawwiduni (لا تسودونى). Sedangkan Nabi saw. sebagai seorang Rasul tidak mungkin mengucapkan lafaz yang salah (mengandung lahn).

Kitab al- Duru al- Mukhtar menyebutkan bahwa menambahkan kata Sayyidina sebelum nama Nabi saw. adalah lebih mulia daripada tidak membacanya, karena itu merupakan adab kesopanan terhadap Rasulullah saw. bahkan ini adalah pendapat yang telah diakui dan dipercayai.

KESIMPULAN :

1.      BAGI YANG MENGIKUTI PENDAPAT BAHWA SHALAWAT DALAM SHALAT TANPA MENGGUNAKAN SAYYIDINA DENGAN ALASAN TIDAK ADA DALIL YANG MENYATAKAN HAL ITU MAKA ITU DIPERBOLEHKAN SEDANGKAN YANG BERPENDAPAT BAHWA MELAFAZKAN SAYYIDINA DALAM SHALAT ITU ADALAH DI ANJURKAN  DENGAN ALASAN SEBAGAI BENTUK PENGHORMATAN DAN MERUPAKAN PENGMALAN TERHADAP PERINTAH ALLAH DALAM QS. ANNUR : 63 MAKA ITUPUN DIPERBOLEHKAN DAN KEDUA PENDAPAT INI DIKUATKAN OLEH PENDAPAT PARA ULAMA BAIK MUTAQADDIMIN MAUPUN MUTAHADDITSIN.

2.       PERBEDAAN INI HANYA BERSIFAT FURU’IYYAH (CABANG) TIDAK BERSIFAT POKOK. JADI KITA HARUS DEWASA. OLEH KARENA ITU, BANYAKLAH MEMBACA AGAR KITA TIDAK MUDAH MENYALAHKAN. SEKARANG KITA TINGGAL BEBAS MEMILIH MAU MELAFAZKAN SAYYIDINA ATAU TIDAK. JAUHILAH SIKAP PALING BENAR DAN MENYALAHKAN ORANG LAIN. KARENA SIKAP INI MENCERMINKAN SIKAP IBLIS YANG MERASA PALING SUCI.

______________

Disampaikan Oleh :  Ust. Azkan Ihsan, S.Sos.I / 081379997779  Pada  Pengajian  Rutin  Mingguan

2 komentar:

Anonim mengatakan...

KUMSI atu ari kitu mah.. :P

bacanya terlalu emosi jd memandang komentar itu sbagai pembelaan diri..

laksanakan saja keinginanmu..
bid'ah atw tidaknya sholat mu, jwabanya di akhirat nanti.. :)

Unknown mengatakan...

ass wr wb.
numpang copy paste ya ustad,,ane cantumkan ko sumbernya