Kamis, 24 Januari 2013

Meluruskan Pemahaman Tentang Peringatan Maulid Nabi*


Peringatan Maulid Nabi, selama yang melaksanakannya berkeyakinan sebagai amal kebaikan tidaklah masalah Yang bermasalah adalah jika yang melaksanakan Maulid Nabi berkeyakinan sebagai sebuah kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa karena Allah Azza wa Jalla tidak pernah menetapkannya sebagai kewajiban.  Jika ulama berfatwa dalam perkara kewajiban (ditinggalkan berdosa), perkara larangan (dikerjakan berdosa) dan perkara pengharaman (dikerjakan berdosa) wajib berlandaskan dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla. Dalam perkara syariat berlaku “hukum asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang mensyari’atkannya atau menetapkannya  Perkara baru dalam perkara syariat adalah bid'ah dholalah. Sedangkan perkara baru (bid'ah) diluar perkara syariat, jika bertentang dengan Al Qur'an dan As Sunnah adalah termasuk bid'ah dholalah dan jika tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan As Sunnah adalah termasuk bid'ah hasanah.

 “Perkara-perkara yang baru (al muhdats) terbagi dua, Pertama : perkara baru yang bertentangan dengan kitab, sunnah, atsar para sahabat dan ijma’, ini adalah bid’ah dlalalah, kedua: perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan salah satu dari hal-hal di atas, maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela” (Diriwayatkan oleh al Hafizh al Baihaqi dalam kitabnya “Manaqib asy-Syafi’i”, Juz I, h. 469). Perkara diluar perkara syariat tidak harus selalu sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah . Dalam perkara diluar perkara syariat berlaku "hukum asal segala sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya”

Para Hafidh (ahli hadits yang hafal 100.000 hadits dan dapat menshahihkan sanad dan matan hadis dan dapat men-ta'dil-kan dan men-jarh-kan rawinya) menyampaikan pendapat mereka tentang peringatan Maulid Nabi

1. Imam Al hafidh Abu Syaamah RA (Guru imam Nawawi) : “Merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul SAW dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul SAW dan membangkitkan rasa cinta pada beliau shallallahu alaihi wasallam, dan bersyukur kepada Allah ta’ala dengan kelahiran Nabi SAW“.

2. Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy  RA dalam  kitabnya ‘Urif bitta’rif Maulidissyariif : “Telah diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu?, ia menjawab : “di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu semua sebab aku membebaskan budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku atas kelahiran Nabi SAW dan karena Tsuwaibah menyusuinya ” (shahih Bukhari hadits no.4813). maka apabila Abu Lahab Kafir yang Alqur’an turun mengatakannya di neraka mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi SAW, maka bagaimana dengan muslim ummat Muhammad SAW  yang gembira atas kelahiran Nabi SAW?, maka demi usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh-sungguh ia akan dimasukkan ke sorga kenikmatan Nya dengan sebab anugerah Nya“.

3. Imam Al hafidh Ibn Abidin RA dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : “ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi SAW”
4. Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah, dengan karangan maulidnya yang terkenal “al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid, “Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya serta merayakannya”.
5. Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy  RA dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami berkata: “Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kepada orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi saw sebagai hari besar”.
6.  al-Syaikh al-Islam Khatimah al-Huffazh Amir al-Mu’minin Fi al-Hadith al-Imam Ahmad Ibn Hajar al-`Asqalani:

أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً”. وَقَالَ: “وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ”.

Artinya:  “Asal peringatan maulid adalah bid`ah yang belum pernah dinukikanl daripada (ulama’) al-Salaf al-Saleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian peringatan maulid mengandungi kebaikan dan lawannya (keburukan), jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik sahaja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid`ah hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang thabit (Sahih)”.

7.  al-Imam al-Hafizh al-Suyuthi dalam  “Husn al-Maqshid Fi ‘Amal al-Maulid”. Beliau menyatakan seperti berikut:

عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ. وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ ذلِكَ صَاحِبُ إِرْبِل الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كَوْكَبْرِيْ بْنُ زَيْنِ الدِّيْنِ ابْنِ بُكْتُكِيْن أَحَدُ الْمُلُوْكِ الأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ وَالأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثاَرٌ حَسَنَةٌ وَهُوَ الَّذِيْ عَمَّرَ الْجَامِعَ الْمُظَفَّرِيَّ بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ”.

Artinya: “Menurutku: pada dasarnya peringatan maulid, merupakan kumpulan orang-orang beserta bacaan beberapa ayat al-Qur’an, meriwayatkan hadith-hadith tentang permulaan sejarah Rasulullah dan tanda-tanda yang mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu dimakan oleh orang-orang tersebut dan kemudian mereka bubar setelahnya tanpa ada tambahan-tambahan lain, adalah termasuk bid`ah hasanah (bid`ah yang baik) yang melakukannya akan memperolehi pahala. Kerana perkara seperti itu merupakan perbuatan mengagungkan tentang kedudukan Rasulullah dan merupakan penampakkan (menzahirkan) akan rasa gembira dan suka cita dengan kelahirannya (rasulullah) yang mulia. Orang yang pertama kali melakukan peringatan maulid ini adalah pemerintah Irbil, Sultan al-Muzhaffar Abu Sa`id Kaukabri Ibn Zainuddin Ibn Buktukin, salah seorang raja yang mulia, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang membangun al-Jami` al-Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun”.

8. Al-Imam al-Hafizh al-Sakhawi dalam “al-Ajwibah al-Mardliyyah”, seperti berikut:

لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ “بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ، وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ”. ثُمَّ قَالَ: “قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ: لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا وَلَيَالِيْهِ”.

Artinya: “Peringatan Maulid Nabi belum pernah dilakukan oleh seorangpun daripada kaum al-Salaf al-Saleh yang hidup pada tiga abad pertama yang mulia, melainkan baru ada setelah itu di kemudian. Dan ummat Islam di semua daerah dan kota-kota besar sentiasa mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan kelahiran Rasulullah. Mereka mengadakan jamuan-jamuan makan yang luar biasa dan diisi dengan hal-hal yang menggembirakan dan baik. Pada malam harinya, mereka mengeluarkan berbagai-bagai sedekah, mereka menampakkan kegembiraan dan suka cita. Mereka melakukan kebaikan-kebaikan lebih daripada kebiasaannya. Bahkan mereka berkumpul dengan membaca buku-buku maulid. Dan nampaklah keberkahan Nabi dan Maulid secara menyeluruh. Dan ini semua telah teruji”. Kemudian al-Sakhawi berkata: “Aku Katakan: “Tanggal kelahiran Nabi menurut pendapat yang paling sahih adalah malam Isnin, tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam tanggal 2, 8, 10 dan masih ada pendapat-pendapat lain. Oleh kerananya tidak mengapa melakukan kebaikan bila pun pada siang hari dan waktu malam ini sesuai dengan kesiapan yang ada, bahkan baik jika dilakukan pada siang hari dan waktu malam bulan Rabi’ul Awwal seluruhnya” .

 BEBERAPA DALIL YANG DIJADIKAN SANDARAN

1.  QS. Ibrahim: 5 , Dan sesungguhnya kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat kami  ( dan kami perintahkan kepadanya ) : “kekuarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah1  
(1 : Hari dimana Allah memberikan nikmat kepada orang-orang beriman dan Azab bagi orang-orang kafir )

2. QS. Hud : 120, “Dan semua kisah dari Rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu, dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.

3. Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam bersabda:

مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ”. رواه مسلم”.
Artinya: “Barang siapa yang melakukan (merintis) dalam Islam sesuatu perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala daripada perbuatan baiknya tersebut, dan ia juga mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya selepasnya, tanpa dikurangkan pahala mereka sedikitpun”. (Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya).
Hadith ini memberikan kelonggaran kepada ulama’ ummat Nabi Muhammad SAW untuk melakukan perkara-perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an, al-Sunnah, Athar  mahupun Ijma` ulama’. Peringatan maulid Nabi adalah perkara baru yang baik dan sama sekali tidak menyalahi satu-pun di antara dalil-dalil tersebut. Jika ada orang yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi, bererti ia telah mempersempit kelonggaran yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada zaman Nabi.

4. Ketika Rasulullah tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram). Rasulullah bertanya kepada mereka: “Untuk apa mereka berpuasa?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari ditenggelamkan Fir’aun dan diselamatkan Nabi Musa, dan kami berpuasa di hari ini adalah karena bersyukur kepada Allah”. Kemudian Rasulullah  SAWbersabda:

أَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ”.  Artinya: “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (orang-orang Yahudi)”.
Lalu Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam berpuasa dan memerintahkan para sahabat baginda untuk berpuasa.
( HR. Bukhari, Muslim )  Pengajaran penting yang dapat diambil daripada hadith ini ialah bahawa sangat dianjurkan untuk melakukan perbuatan bersyukur kepada Allah pada hari-hari tertentu atas nikmat yang Allah berikan pada hari-hari tersebut. Bukankah kelahiran Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam adalah nikmat yang paling besar bagi umat ini?! Adakah nikmat yang lebih agung daripada dilahirkannya Rasulullah pada bulan Rabi’ul Awwal ini?! Adakah nikmat dan kurniaan yang lebih agung daripada pada kelahiran Rasulullah yang menyelamatkan kita dari jalan kesesatan?! Demikian inilah yang telah dijelaskan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-`Asqalani.

5. Rasulullah SAWketika ditanya mengapa beliau puasa pada hari Isnin, beliau menjawab:
ذلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ”.  Artinya: “Hari itu adalah hari dimana aku dilahirkan”. (Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim)
Faedah daripada Hadith tersebut: Ini adalah isyarat daripada Rasulullah SAW,  jika baginda berpuasa pada hari isnin kerana bersyukur kepada Allah atas kelahiran baginda sendiri pada hari itu, maka demikian pula bagi kita sudah selayaknya pada tanggal kelahiran Rasulullah SAW tersebut untuk kita melakukan perbuatan syukur, misalkan dengan membaca al-Qur’an, membaca kisah kelahiran baginda, bersedekah, atau melakukan perbuatan baik dan lainnya. Kemudian, oleh kerana puasa pada hari isnin diulangi setiap minggunya, maka bererti peringatan maulid juga diulangi setiap tahunnya. Dan kerana hari kelahiran Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam masih diperselisihkan oleh para ulama’ mengenai tanggalnya, -bukan pada harinya-, maka boleh sahaja jika dilakukan pada tanggal 12, 2, 8, atau 10 Rabi’ul Awwal atau pada tanggal lainnya. Bahkan tidak menjadi masalah bila perayaan ini dilaksanakan dalam sebulan penuh sekalipun, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh al-Hafizh al-Sakhawi seperti yang akan dinyatakan di bawah ini


Minggu, 13 Januari 2013

Bahaya Sifat Ujub dalam Kehidupan


Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

وَكَثِيرًا مَا يَقْرِنُ النَّاسُ بَيْنَ الرِّيَاءِ وَالْعُجْبِ فَالرِّيَاءُ مِنْ بَابِ الْإِشْرَاكِ بِالْخَلْقِ وَالْعُجْبُ مِنْ بَابِ الْإِشْرَاكِ بِالنَّفْسِ وَهَذَا حَالُ الْمُسْتَكْبِرِ فَالْمُرَائِي لَا يُحَقِّقُ قَوْلَهُ : { إيَّاكَ نَعْبُدُ } وَالْمُعْجَبُ لَا يُحَقِّقُ قَوْلَهُ : { وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } فَمَنْ حَقَّقَ قَوْلَهُ : { إيَّاكَ نَعْبُدُ } خَرَجَ عَنْ الرِّيَاءِ وَمَنْ حَقَّقَ قَوْلَهُ { وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } خَرَجَ عَنْ الْإِعْجَابِ وَفِي الْحَدِيثِ الْمَعْرُوفِ : { ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ : شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ }
"Dan sering orang-orang menggandengkan antara riyaa' dan ujub. Riyaa termasuk bentuk kesyirikan dengan orang lain (yaitu mempertujukan ibadah kepada orang lain-pen) adapun ujub termasuk bentuk syirik kepada diri sendiri (yaitu merasa dirinyalah atau kehebatannyalah yang membuat ia bisa berkarya-pen). Ini merupkan kondisi orang yang sombong. Orang yang riyaa' tidak merealisasikan firman Allah إيَّاكَ نَعْبُدُ "Hanya kepadaMulah kami beribadah", dan orang yang ujub tidaklah merealisasikan firman Allah وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ "Dan hanya kepada Mulah kami memohon pertolongan". Barangsiapa yang merealisasikan firman Allah إيَّاكَ نَعْبُدُ maka ia akan keluar lepas dari riyaa', dan barangsiapa yang merealisasikan firman Allah وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ maka ia akan keluar terlepas dari ujub"(Majmuu' Al-Fataawaa 10/277)

Rasulullah bersabda :

ثَلاَثُ مُهْلِكَاتٍ : شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَإعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ

"Tiga perkara yang membinasakan, rasa pelit yang ditaati, hawa nafsu yang diikui dan ujubnya seseorang terhadap dirinya sendiri" (HR at-Thobroni dalam Al-Awshoth no 5452 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam as-shahihah no 1802)

Lantas kenapa kita begitu waspada terhadap riyaa namun melalaikan penyakit ujub…?

Sesungguhnya racun ujub akan mengantarkan pelakunya kepada penyakit-penyakit kronis lainnya, diantaranya :

  • Lupa untuk bersyukur kepada Allah, bahkan malah mensyukuri diri sendiri, seakan-akan amalan yang telah dia lakukan adalah karena kehebatannya. 
  • Lenyap darinya sifat tunduk dan merendah dihadapan Allah yang telah menganugrahkan segala kelebihan dan kenikmatan kepadanya 
  • Terlebih jelas lagi lenyap sikap tawadhu' dihadapan manusia 
  • Bersikap sombong (merasa tinggi) dan merendahkan orang lain, tidak mau mengakui kelebihan yang dimiliki oleh orang lain. 
  • Jiwanya senantiasa mengajaknya untuk menyatakan bahwasanya dialah yang terbaik, dan apa yang telah diamalkan oleh orang lain merupakan perkara yang biasa yang tidak patut untuk dipuji. Berbeda dengan amalan dan karya yang telah ia lakukan maka patut untuk diacungkan jempol.

Kenapa Mesti Ujub? Sebelum kita terlena dengan ujub yang menggerogoti hati kita maka hendaknya kita renungkan tentang diri kita. Kenapa kita ujub..??, bukankah kita ujub karena amalan kita serta hasil karya yang banyak dan hebat…??. Jika perkaranya demikian maka hendaknya renungkanlah perkara-perkara berikut ini :

Pertama : Sudah yakinkah amalan-amalan kita tersebut dibangun di atas keikhlasan kepada Allah?

Ikhlas merupakan perkara yang sangat mulia, yang menjadikan pelakunya menjadi sangat tinggi dan mulia di sisi Allah. Orang yang ikhlas hatinya hanya sibuk mengaharapkan keridhoan Allah dan tidak peduli dengan komentar dan penilaian manusia yang tidak memberi kemanfaatan dan tidak memudhorotkan. Yang paling penting baginya adalah penilaian Allah terhadap amalannya. Orang yang ikhlas adalah orang yang amalannya tatkala bersendirian lebih banyak daripda amalannya tatkala dilihat oleh orang lain.

Kedua : Bukankah banyak hal yang bisa menggugurkan amalan-amalan kita tersebut?
  •  Riyaa' –meskipun sekecil apapun- merupakan penggugur amal, dan bentuk-bentuknya sangatlah banyak.
  • Amalan yang tidak dibangun diatas ittibaa' sunnah juga merupakan penggugur amalan.
  • Sikap al-mann dalam hati terhadap Allah (yaitu merasa telah berbuat baik kepada Allah dengan mengungkit-ngungkit dan menyebut-nyebut kebaikan tersebut -pen) juga menghancurkan amalan.  ( Lihat : QS Al-Baqoroh : 264, QS Al-Hujuroot )
  • Diantara hal yang menggugurkan amalan adalah sebagaimana sabda Nabi  : Siapa yang meninggalkan Sholat ashar maka telah gugur amalannya" (HR Al-Bukhari no 553) 
  • Dan termasuk dalam hal ini perkataan Aisyah RAkepada Zaid bin Arqom rahdiallahu 'anhu tatkala melakukan transaksi dengan sistem 'iinah (riba) "Sesungguhnya ia (Zaid) telah menggugurkan (pahala) jihadnya bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali jika ia bertaubat"

Ketiga : Bukankah penilaian Allah yang paling utama adalah tentang hati dan keimanan seseorang?

Betapa banyak orang yang dzohirnya kurang amalannya dan seakan-akan mata kita merendahkannya, namun ternyata ia sangat tinggi di sisi Allah. Sebagai contoh nyata adalah Uwais Al-Qoroni rahimahullah

Keempat : Betapa banyak dosa yang kita lakukan  yang kita sadari dan tanpa kita sadari ?

Betapa sering kita melupakan dosa-dosa yang kita lakukan.., bukankah terlalu banyak dosa yang dilakukan oleh kedua mata kita..?, dosa yang dilakukan oleh kedua telinga kita..?, dosa-dosa yang dilakukan oleh lisan kita..?, dosa-dosa yang dilakukan oleh hati kita…? Sebagai contoh, coba sekarang kita berusaha untuk mengingat kembali dosa-dosa yang pernah dilakukan oleh lisan kita..?, apakah kita masih ingat siapa saja yang pernah kita ghibahi..?, siapa saja yang pernah kita sakiti hatinya dengan perkataan kita…?. Tentu kebanyakannya telah kita lupakan.

Belum lagi dosa-dosa yang pernah kita lakukan dengan hati kita..?  Bukankah takabbur, hasad, berburuk sangka juga merupakan dosa…?  Jika perkaranya demikian…bahwasanya tidak satu amalanpun yang kita yakini kita lakukan ikhlas karena Allah…dan tidak satu amalanpun yang ikhlas kita lakukan lantas kita yakin pasti diterima oleh Allah karena selamat dari hal-hal yang merusaknya…, maka apakah yang bisa kita banggakan untuk bisa ujub di hadapan Allah dan merasa lebih baik dari orang lain…