Senin, 17 November 2014

SEPUTAR BATU CINCIN


Dalam Hadits Shahih Muslim disebutkan :




حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ الْمِصْرِيُّ أَخْبَرَنِي يُونُسُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ حَدَّثَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ كَانَ خَاتَمُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ وَرِقٍ وَكَانَ فَصُّهُ حَبَشِيًّا


38.62/3907. Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub; Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Wahb Al Mishri; Telah mengabarkan kepadaku Yunus bin Yazid dari Ibnu Syihab; Telah menceritakan kepadaku Anas bin Malik ia berkata; Cincin Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam terbuat dari perak, sedangkan mata cincinnya terbuat dari batu Habasyi

Syarah Imam Nawawi : bahwa yg dimaksud dgn "Habasyi" para ulama menyebutkan yakni Batu Habsyi, yakni bermata cincin marjan atau akik.


Berikut ini beberapa permasalahan seputar hukum memakai cincin :




PERTAMA : Hukum memakai cincin.


Ibnu Umar radhiallahu 'anhu berkata :

اتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ وَجَعَلَ فُصَّهُ مِمَّا يَلِي كَفَّهُ فَاتَّخَذَهُ النَّاسُ فَرَمَى بِهِ وَاتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ وَرِقٍ أَوْ فِضَّةٍ

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memakai cincin dari emas, beliau menjadikan mata cincinnya bagian dalam ke arah telapak tangan, maka orang-orangpun memakai cincin. Lalu Nabi membuang cincin tersebut dan memakai cincin dari perak" (HR Al-Bukhari no 5865)
Ibnu Umar juga berkata :


اتخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم خاتما من ورق وكان في يده ثم كان بعد في يد أبي بكر ثم كان بعد في يد عمر ثم كان بعد في يد عثمان حتى وقع بعد في بئر أريس نقشه محمد رسول الله




"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memakai cincin dari perak, cincin tersebut berada di tangan Nabi, lalu setelah itu berpindah ke tangan Abu Bakar, setelah itu berpindah ke tangan Umar, setelah itu berpindah ke tangan Utsman, hingga akhirnya cincin tersebut jatuh di sumur Ariis. Cincin tersebut terpahatkan Muhammad Rasulullah" (HR Al-Bukhari no 5873)


Para ulama telah berselisih pendapat, apakah memakai cincin hukumnya sunnah ataukah hanya sekedar mubah (diperbolehkan)?. Sebagian ulama berpendapat bahwa memakai cincin hukumnya sunnah secara mutlak. Sebagian lagi berpendapat hukumnya sunnah bagi para raja dan sultan.




Pendapat yang hati lebih condong kepadanya adalah sunnahnya memakai cincin secara mutlak. Dalilnya adalah meskipun sebab Nabi memakai cincin adalah karena untuk menstempeli surat-surat yang akan beliau kirim kepada para pemimpin Romawi, Persia, dan lain-lain, akan tetapi dzohir dari hadits Ibnu Umar di atas bahwasanya para sahabat juga ikut memakai cincin karena mengikuti Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal para sahabat bukanlah para sulton, dan mereka tidak membutuhkan cincin untuk stempel.


KEDUA : Ditangan yang mana dan jari yang mana memakai cincin?

Sebagian ulama berpendapat akan disunnahkan memakai cincin di tangan kiri, dan sebagian yang lain berpendapat di tangan kanan. Dan pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan dibolehkan di kanan atau di kiri.

Diantara hadits-hadits tersebut adalah :

Anas bin Malik berkata :

كَانَ خَاتَمُ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي هَذِهِ وَأَشَارَ إِلىَ الْخِنْصِرِ مِنْ يَدِهِ الْيُسْرَى

"Cincin Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di sini –Anas mengisyaratkan ke jari kelingking dari tangan kirinya" (HR Muslim no 2095)
Anas juga berkata :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَبِسَ خَاتَمَ فِضَّةٍ فِي يَمِينِهِ فِيهِ فَصٌّ حَبَشِيٌّ كَانَ يَجْعَلُ فَصَّهُ مِمَّا يَلِي كَفَّهُ

"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memakai cincin perak di tangan kanan beliau, ada mata cincinnya terbuat dari batu habasyah (Etiopia), beliau menjadikan mata cincinnya di bagian telapak tangannya" (HR Muslim no 2094)

KETIGA : Diharamkan bagi lelaki memakai segala bentuk perhiasan yang terbuat dari emas

Telah jelas dalam hadist Ibnu Umar di atas bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membuang cincin emasnya, karena cincin emas haram dipakai oleh lelaki. Bahkan bukan hanya cincin, segala perhiasan yang terbuat dari emas dilarang dipakai oleh lelaki.

عن عَلِي بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أنَّ النَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ حَرِيرًا فَجَعَلَهُ فِي يَمِينِهِ ، وَأَخَذَ ذَهَبًا فَجَعَلَهُ فِي شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ : ( إِنَّ هَذَيْنِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي)

"Dari Ali bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengambil kain sutra lalu meletakkannya di tangan kanan beliau, dan mengambil emas lalu beliau letakan di tangan kiri beliau, lalu beliau berkata : "Kedua perkara ini haram bagi kaum lelaki dari umatku" (HR Abu Dawud no 4057, An-Nasaai no 5144, dan Ibnu Maajah no 3595, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
 

Sabtu, 27 September 2014

BENARKAH BERQURBAN ATAS NAMA ORANG MATI ADALAH SUNNAH ?


Belakangan ini muncul diskusi yg Mempertanyakan hukum berkurban untuk orang yang telah mati. Menurut pendapat jumhur ulama SUNNAH hukumnya berqurban atas mayyit dan pahalanya bermanfaat bagi mayyit tersebut. 
Berikut ini dalil-dalilnya.

"Telah diriwayatkan dari 'Ali., bahwasanya beliau berkurban dengan dua ekor kibas, yang satu ekor (pahalanya) atas Nabi SAW dan yang satu ekor berikutnya atas dirinya sendiri. Orang-orang bertanya tentang amalannya ini. Selanjutnya Imam Ali menjawab: "Demikian inilah Nabi SAW pernah memerintahkan kepada saya, karena itu saya mengerjakannya selalu dan tidak akan pernah meninggalkannya (selama-lamanya)" (Sunan At-Tirmizî, no. 1415). Dapat dilihat juga pada Shahîh At-Tirmizî, Juz IV, hlm. 219. Hadits ini tepatnya terdapat dalam bab Mâ Jâ'a fil-Udhhiyyah 'anil-Mayyit (tentang berkurban untuk orang yang telah mati).

Dalam Sunan Abi Dawud pada bab Al-Udhhiyyah 'anil-Mayyit (berkurban untuk mayyit) juga terdapat riwayat dari Hanasy, ia berkata: "Aku melihat Ali berkurban dengan dua kambing, kemudian aku bertanya: "Apa ini?", Ali menjawab: "Sesungguhnya Nabi SAW telah memerintahkan kepadaku agar aku berkurban atasnya, maka kemudian aku memotong hewan kurban untuknya" (Sunan Abî Dâwud, no. 2408).

Dijelaskan dalam kitab 'Aunul Ma'bud bahwa yang dimaksud hadits ini adalah setelah Rasulullah SAW wafat, Imam Ali memotong dua hewan qurban, bisa jadi kedua-duanya untuk Rasulullah SAW, atau dari keduanya salah satunya untuk nabi dan yang satunya untuk dirinya sendiri. Ketika ditanya tentang amalan ini, beliau menjawab bahwa hal ini dikerjakan atas perintah Rasulullah SAW (lihat 'Aunul Ma'bud, Juz 6, hlm. 246).

Dalam riwayat yang dishahihkan oleh Imam Al-Hakim juga disebutkan hadits yang serupa dengan riwayat Imam Tirmidzi, bahwa ketika ditanya Imam Ali menjawab: "Rasulullah SAW telah memerintahkan aku agar berkurban untuknya selama-lamanya, sehingga akupun berkurban selalu untuknya selama-lamanya". (lihat 'Aunul Ma'bud, Juz 6, hlm. 246).

Imam Ali ra., mengerjakan kurban ini setelah Rasulullah SAW wafat. Beliau khususkan satu kambing kibasy untuk Rasulullah SAW, orang yang sangat dicintainya dan dimuliakannya. Padahal kita sendiri tahu bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang telah dijamin masuk surga. Namun ini bukanlah penghalang bagi Imam Ali untuk berkurban atas Nabi SAW. Ini dilakukannya sebagai upaya memupuk bakti, ketataatan dan kasih sayang dengan Rasulullah SAW.

Oleh karena itu, kami menghimbau bagi siapapun yang memiliki kelebihan rezeki, marilah kita sisihkan untuk berkurban dan kita hadiahkan pahalanya untuk orang yang kita cintai. Terutama untuk kedua orang tua atau kakek-nenek kita yang telah wafat. Sebagai wujud pertalian kasih-sayang kita di dunia hingga akherat. Dan juga sebagai upaya kita yang masih hidup untuk meringankan beban orang-orang yang telah wafat mendahului kita. Kendatipun ada yang menyangkal tentang amalan ini, tapi buat kita dalil-dalil diatas sungguh telah jelas menganjurkan kita menghadiahkan kurban. Imam Ali ra., yang senantiasa mengerjakannya, beliau berkata: "aku lakukan ini karena perintah dari Rasulullah SAW".

Kurban termasuk salah satu ibadah mâliyah. Para ulama berpendapat bahwa sama seperti sedekah, menghadiahkan pahala berkurban untuk orang yang telah wafat hukumnya juga "SUNNAH". Orang yang pertama melakukan hal ini adalah Rasulullah SAW sendiri. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra., bahwa Nabi berkata pada saat menyembelih Qurban-nya: "Ya Allah, hendaklah Engkau menerima dari Muhammad, dari keluarga Muhammad, dan dari umat Muhammad". Lalu kambing itu disembelih”. (Shahîh Muslim, no. 3637; Sunan Abî Dâwud, no. 2410; dan Musnad Ahmad, no. 23351)

Hadits ini menggambarkan bahwa Nabi SAW telah menyengaja menghadiahkan pahala kurbannya kepada keluarganya dan kepada umatnya sekaligus. Sebagaimana fatwa Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza'iri, ulama Madinah abad ini, dalam kitabnya Minhâjul Muslim beliau menuliskan bahwa: "Barangsiapa yang terhalang (tidak mampu) berkurban dari kaum muslimin, tetap sampai kepadanya pahala orang yang berkurban, yang demikian itu karena sesungguhnya Nabi SAW saat menyembelih hewan kurban dari dua kambingnya beliau telah berkata: "Ya Allah, kurban ini atas aku dan atas umat-ku yang tidak mampu berkurban (Mustadrak Al-Hakim, Juz 4, hlm. 228)". (lihat Minhâjul Muslim, hlm. 266).

Pengarang kitab Al-Barîqatul Muhammadiyah mengemuka kan: "Yakni (Nabi SAW) telah memberikan pahalanya kepada umatnya, ini berarti pelajaran dari Nabi SAW bahwa manusia bisa memperoleh manfaat dari amalan orang lain. 

Mengikuti ajaran (petunjuk) nabi ini merupakan upaya berpegang dengan tali agama yang teguh".

Kendatipun ada yang menyangkal tentang amalan ini, tapi buat kita dalil-dalil diatas sungguh telah jelas dan tegas menganjurkan kita menghadiahkan kurban. Imam Ali ra., sendiri yang senantiasa mengerjakannya, beliau mengatakan: "aku lakukan ini karena anjuran dari Rasulullah SAW". Hadits yang serupa juga tercantum dalam kitab sunan Sunan Abî Dâwud pada bab Al-Udhhiyyah 'anil-Mayyit (berkurban untuk mayyit) (Sunan Abî Dâwud, no. 2408). Wallohu A’lam

Rabu, 23 April 2014

Pentingnya Pendidikan Profesi Guru ( PPG )


Tidak dapat dipungkiri bahwa barangsiapa yang tidak dapat berkompetisi dengan orang lain yang lebih profesional atau profesi lain, tidak akan bertahan. Jika profesi guru tidak kompetitif dan tidak profesional, maka akan berakibat mati atau hilangnya profesi tersebut dari masyarakat. Padahal, untuk mencapai masyarakat yang terbuka dan maju, masyarakat yang melek teknologi, serta masyarakat yang profesional, tetap dibutuhkan peran guru, yang profesional pula.
Guru dituntut untuk selalu up to date pada perkembangan jaman, serta kemajuan informasi dan teknologi, agar dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan para siswa peserta didiknya. Jika mereka tidak menguasainya, bagaimana gurudapat membimbing para siswa untuk meningkatkan pengetahuannya.
Guru adalah salah satu profesi di masyarakatyang berperan melaksanakan proses pendidikan secara profesional. Seperti halnya profesi lain di masyarakat, guru adalah profesi yang kompetitif. Tidak hanya dengan sesama pelaku profesi guru tetapi juga dengan profesi lainnya di masyarakat.
Guru sebagai pelaku proses pendidikan harus terus-menerus mengubah diri, melakukan upaya-upaya pengembangan diri agar pengetahuan yang dikuasai guru tidak setengah-setengah, melainkan kuat dan tuntas, agar tidak tertinggal, sesuai dengan karakteristik seorang yang profesional.
Di samping itu, karena profesi guru juga merupakan suatu profesi untuk membantu dan membimbing perkembangan manusia, dalam hal ini siswa-siswanya, maka hubungan antar manusia menjadi penting untuk diperhatikan dalam rangka pengembangan profesionalisme guru. Pengembangan diri guru sebagai profesional pendidikan juga harus dapat membantu guru memiliki kepribadian yang matang dan terus berkembang.

Rabu, 16 April 2014

Sebuah mesjid di Kairo diberi nama "Mesjid Umar ibn al-Khattab"

`Umar Ibn al-Khattab adalah khalifah kedua, dan mungkin terbesar dari semua khalifah Islam. Dia sejaman namun lebih berusia muda ketimbang Nabi Muhammad. Dan seperti juga Muhammad, dia kelahiran Mekkah. Tahun kelahirannya tidak diketahui, tetapi menurut taksiran tahun-586.

Asal-muasalnya `Umar Ibn al-Khattab merupakan musuh yang paling ganas dan beringas, menentang Muhammad dan Agama Islam habis-habisan. Tetapi, mendadak dia memeluk agama baru itu dan berbalik menjadi pendukung gigih. (Ini ada persamaannya yang menarik dengan ihwal St. Paul terhadap Kristen). `Umar Ibn al-Khattab selanjutnya menjadi penasihat terdekat Nabi Muhammad dan begitulah dilakukannya sepanjang umur Muhammad.

Tahun 632 Muhammad wafat, tanpa menunjuk penggantinya. Umar dengan cepat mendukung Abu Bakr sebagai pengganti, seorang kawan dekat Nabi dan juga mertua beliau. Langkah ini mencegah ada kekuatan dan memungkinkan Abu Bakr secara umum diakui sebagai khalifah pertama, semacam "pengganti" Nabi Muhammad. Abu Bakar merupakan pemimpin yang berhasil tetapi beliau wafat sesudah jadi khalifah hanya selama dua tahun. Tetapi, Abu Bakr menunjuk `Umar jadi khalifah tahun 634 dan memegang kekuasaan hingga tahun 644 tatkala dia terbunuh di Madinah oleh perbuatan seorang budak Persia. Di atas tempat tidur menjelang wafatnya, `Umar menunjuk sebuah panita terdiri dari enam orang untuk memilih penggantinya. Dengan demikian lagi-lagi kesempatan adu kekuatan untuk kekuasaan terjauh. Panitia enam orang itu menunjuk `Uthman selaku khalifah ke-3 yang memerintah tahun 644-656.

Dalam masa kepemimpinan sepuluh tahun `Umar itulah penaklukan-penaklukan penting dilakukan orang Arab. Tak lama sesudah `Umar pegang tampuk kekuasaan sebagai khalifah, pasukan Arab menduduki Suriah dan Palestina, yang kala itu menjadi bagian Kekaisaran Byzantium. Dalam pertempuran Yarmuk (636), pasukan Arab berhasil memukul habis kekuatan Byzantium. Damaskus jatuh pada tahun itu juga, dan Darussalam menyerah dua tahun kemudian. Menjelang tahun 641, pasukan Arab telah menguasai seluruh Palestina dan Suriah, dan terus menerjang maju ke daerah yang kini bernama Turki. Tahun 639, pasukan Arab menyerbu Mesir yang juga saat itu di bawah kekuasaan Byzantium. Dalam tempo tiga tahun, penaklukan Mesir diselesaikan dengan sempurna.

Penyerangan Arab terhadap Irak yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Persia telah mulai bahkan sebelum `Umar naik jadi khalifah. Kunci kemenangan Arab terletak pada pertempuran Qadisiya tahun 637, terjadi di masa kekhalifahan `Umar. Menjelang tahun 641, seseluruh Irak sudah berada di bawah pengawasan Arab. Dan bukan cuma itu: pasukan Arab bahkan menyerbu langsung Persia dan dalam pertempuran Nehavend (642) mereka secara menentukan mengalahkan sisa terakhir kekuatan Persia. Menjelang wafatnya `Umar di tahun 644, sebagian besar daerah barat Iran sudah terkuasai sepenuhnya. Gerakan ini tidak berhenti tatkala `Umar wafat. Di bagian timur mereka dengan cepat menaklukkan Persia dan bagian barat mereka mendesak terus dengan pasukan menyeberang Afrika Utara.

Sama pentingnya dengan makna penaklukan-penaklukan yang dilakukan `Umar adalah kepermanenan dan kemantapan pemerintahannya. Iran, kendati penduduknya masuk Islam, berbarengan dengan itu mereka memperoleh kemerdekaannya dari pemerintahan Arab. Tetapi Suriah, Irak dan Mesir tidak pernah peroleh hal serupa. Negeri-negeri itu seluruhnya di-Arabkan hingga saat kini.

`Umar sudah barangtentu punya rencana apa yang harus dilakukannya terhadap daerah-daerah yang sudah ditaklukkan oleh pasukan Arab. Dia memutuskan, orang Arab punya hak-hak istimewa dalam segi militer di daerah-daerah taklukan, mereka harus berdiam di kota-kota tertentu yang ditentukan untuk itu, terpisah dari penduduk setempat. Penduduk setempat harus bayar pajak kepada penakluk Muslimin (umumnya Arab), tetapi mereka dibiarkan hidup dengan aman dan tenteram. Khususnya, mereka tidak dipaksa memeluk Agama Islam. Dari hal itu sudahlah jelas bahwa penaklukan Arab lebih bersifat perang penaklukan nasionalis daripada suatu perang suci meskipun aspek agama bukannya tidak memainkan peranan.

Keberhasilan `Umar betul-betul mengesankan. Sesudah Nabi Muhammad, dia merupakan tokoh utama dalam hal penyerbuan oleh Islam. Tanpa penaklukan-penaklukannya yang secepat kilat, diragukan apakah Islam bisa tersebar luas sebagaimana dapat disaksikan sekarang ini. Lebih-lebih, kebanyakan daerah yang ditaklukkan dibawah pemerintahannya tetap menjadi Arab hingga kini. Jelas, tentu saja, Muhammadlah penggerak utamanya jika dia harus menerima penghargaan terhadap perkembangan ini. Tetapi, akan merupakan kekeliruan berat apabila kita mengecilkan saham peranan `Umar. Penaklukan-penaklukan yang dilakukannya bukanlah akibat otomatis dari inspirasi yang diberikan Muhammad. Perluasan mungkin saja bisa terjadi, tetapi tidaklah akan sampai sebesar itu kalau saja tanpa kepemimpinan `Umar yang brilian.


Memang akan merupakan kejutan --buat orang Barat yang tidak begitu mengenal `Umar-- membaca penempatan orang ini lebih tinggi dari pada orang-orang kenamaan seperti Charlemagne atau Julius Caesar dalam urutan daftar buku 100 tokoh paling berpenaruh dalam sejarah. Soalnya, penaklukan oleh bangsa Arab di bawah pimpinan `Umar lebih luas daerahnya dan lebih tahan lama dan lebih bermakna ketimbang apa yang diperbuat oleh Charlemagne maupun Julius Caesar.

Kamis, 20 Maret 2014

Hadis shahih : bacaan yasin untuk orang yang mati diantara kalian (mautakum)


Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillah Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…

Keterangan ini di antaranya ditulis oleh: Moulana Muhammad ibn Moulana Haroon Abbassommar, ulama spesialis dalam Hadits dari Afrika Selatan, beliau menjelaskan bahwa :

Sayyiduna Ma’aqal ibn Yassaar (radiyAllau ‘anhu) meriwayatkan bahwa Rasulullah (sallAllahu ‘alayhi wasallam) bersabda, “Yasin adalah kalbu dari Al Quran. Tak seorangpun yang membacanya dengan niat menginginkan Akhirat melainkan Allah akan mengampuninya. Bacalah atas orang-orang yang wafat di antaramu.” (Sunan Abu Dawud).

Imaam Haakim mengklasifikasikan hadits ini sebagai Sahiih (Autentik), di Mustadrak al-Haakim juz 1, halaman 565; lihat juga at-Targhiib juz 2 halaman 376.
.
Imaam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dengan sanad beliau dari Safwaan bahwa ia berkata, “Para ulama biasa berkata bahwa jika Yasin dibaca oleh orang yang tengah maut, Allah akan memudahkan maut itu baginya.” (Lihat Tafsiir Ibn Katsir juz 3 halaman 571)



Sayyiduna Jund ibn Abdullah (radiyAllahu ‘anhu) meriwayatkan bahwa Rasulullah (sallAllahu ‘alayhi wasallam) bersabda, “Barangsiapa membaca Surah Yaseen pada malam hari dengan niat mencari ridha Allah, dosa-dosanya akan diampuni.” (Muwattha’ Imaam Maalik).

Imaam ibn Hibbaan mengklasifikasikan hadits ini sebagai Sahiih, lihat Sahiih ibn Hibbaan Juz 6 halaman 312, ( lihat juga at-Targhiib juz 2 halaman 377).

Riwayat serupa oleh Sayyiduna Abu Hurayrah (radhiyAllahu ‘anhu) juga telah dicatat oleh Imaam Abu Ya’ala dalam Musnad beliau dan Hafiz ibn Katsir telah mengklasifikasikan rantai periwayatnya (Sanad) sebagai “Baik” (Hasan) (lihat Tafsiir Ibn Katsiir Juz 3 halaman 570).

Berdasarkan riwayat ini, Allamah Munaawi (rahmatullah ‘alayh) telah menganalisis bahwa barangsiapa hendak membaca Surah Yasin di pagi hari, juga akan diampuni dosanya, Insya Allah. (Lihat kitab Faydhul Qadiir, juz 6, halaman 259).
.
Sayyiduna ibn ‘Abbaas (radiyAllahu ‘anhu) mengatakan, “Barangsiapa membaca Yasiin di pagi hari, pekerjaannya di hari itu akan dimudahkan dan barangsiapa membacanya di akhir suatu hari, tugas-tugasnya hingga pagi hari berikutnya akan dimudahkan pula.” (Sunaan Daarimi, juz 2, halaman 549).
Riwayat serupa juga dicatat oleh Imaam Daarimi dari Attaa’ ibn Abi Rabah.

Wallahu A’lam bissawab (Dan Allah Lebih Mengetahui)

Diterjemahkan dari artikel aslinya berbahasa Inggris di http://www.beautifulislam.net/quran/benefits_yaseen.htm

Rabu, 19 Maret 2014

Perlukah Mengetahui Identitas Teman saat Diskusi ?


Sebuah pertanyaan saya dapatkan dari hasil berbalas komentar di sebuah tulisan. Pertanyaannya adalah “Seberapa perlu atau pentingkah mengetahui identitas teman diskusi?” Buat saya, mengetahui latar belakang teman diskusi it sangat penting. Karena hal tersebut menyangkut strategi kita dalam berdiskusi. Strategi untuk meningkatkan efektifitas komunikasi.










Seorang teman bertanya, apakah perlu mengetahui agama atau ideologi teman diskusi kita? Bila topik diskusi Anda tentang komputer atau yang tidak mengenai agama dan pandangan hidup, memang tidak relevan untuk ditanyakan. Namun bila Anda berdiskusi tentang agama, maka sangat penting untuk mengetahui apa agama, organisasi, tempat bekerja yg ssungguhnya trhadap kawan diskusi kita untuk lebih mudah memahami kecenderungan pandangannya tentang topik yang didiskusikan sehingga akan lbih saling mahamai yg pada akhirnya menemukan suatu kesimpulan












Contoh, bila Anda berdiskusi dengan teman yang atheis atau penganut scientology, maka menjadi tidak tepat bila Anda mengeluarkan berbagai dalil naqli dari Al-Quran dan hadist. Karena bagi mereka, semua itu dogma dan mereka tidak menganggap itu sebagai rujukan untuk menguatkan argumentasi kita. Orang-orang seperti mereka bisa diajak berdiskusi dengan kekuatan logika (dalil aqli). Pertanyaan dalam sebuah debat agama, bisa berarti si penanya memang ingin mengetahui kebenaran pendapatnya dan pendapat kita, atau justru memang menyerang untuk keyakinan kita pertanyaan sesat (virus pemikiran).
Bila Anda bertemu dengan mereka yang memang berniat ingin menyerang orang -orang brbeda faham dengan kita, tidak perlu berdebat panjang lebar. Janga mencoba mengubah pemikiran atau pendirian mereka. Cukup jawab seperlunya saja. Karena apapun jawaban Anda, pasti salah dan dibantahnya. Motifnya memang bukan saling bertukar pengetahuan dan pemahaman tetapi untuk menjatuhkan. Egonya akan terpuaskan bila lawan diskusinya tidak bisa menjawab pertanyaan atau argumentasinya. Tidak usah terpancing, cukup berkata, “Maaf ini pendapat dan keyakinan saya, silahkan Anda bertahan dengan pendapat Anda.” Biasanya diskusi akan ditutup dengan kalimat berbau Ad Hominem, “Halah ternyata Anda tidak mampu menjawab argumentasi saya, dasar bodoh.”
Baik untuk menguatkan pendapat saya, betapa pentingnya mengetahui teman/lawan diskusi Anda, saya coba jelaskan beberapa hal.
  1. Sun Tzu dalam bukunya The Art of  War mengatakan, ” Barang siapa mengenal dirinya sendiri dan mengenal musuhnya, ia senantiasa menang dengan mudah. Barang siapa mengenal langit dan bumi, ia menang atas segalanya.” Jelas, ahli strategi perang saja menekankan pentingnya mengenal musuhnya, siapa dia, bagaimana cara berfikirnya, apa kelemahannya, dan seterunya. Tidak heran bila dalam pertandingan olah raga, setiap tim akan memiliki data statistik tim lawan. Sebuah tim sepak bola dunia, memiliki tim analisis kekuatan dan kelemahan lawan dari berbagai pertandingan sebelumnya. Misal saat adu penalti antara Malaysia-indonesia. Si penjaga gawang akan cenderung bergerak ke arah posisi di mana si eksekutor biasa menendang bola. Tentu saja dari hasil data statistik si eksekutor.
  2. Dalam sebuah teknik presentasi (ahli pidato), seorang presenter harus mempersiapkan diri sebelum melakukan presentasi. Seorang presenter harus tahu siapa saja audience-nya. Di mana tempatnya (kampus, pabrik, dst..), berapa jumlah audience, latar belakang pendidikan, jenis kelamin, dan hal lainnya yang menjadi pertimbangan untuk membuat persiapan. Jangan sampai ketika dia pidato panjang lebar ternyata slide materi yang disiapkan terlalu tinggi. Memang sih, seorang ahli pidato biasanya akan dengan cepat membaca dan menyesuaikan diri. Namun akan lebih baik kita sudah mengetahui lawan bicara kita sebelum masuk ke forum.
Saya membebaskan Anda untuk memilih mengetahui atau tidak teman/lawan bicara Anda. Setiap orang pasti memiliki cara dan strategi terbaik untuk berkomunikasi atau berdiskusi.
Bila ada yang bermanfaat dari apa yang saya tulis di atas, itu semua datangnya dari Allah SWT atas nikmat ilmu dan kesehatan yang diberikanNya. Namun bila ada keburukan dari apa yang saya tulis di atas, itu karena kelemahan dan kebodohan saya pribadi.
Semoga bermanfaat.
(choiron-compassiana)

Selasa, 18 Maret 2014

Budaya selamatan setelah hari kematian.

Dalam kitab Qurrah al-’Ain bi Fatawi Isma’il Zain al-Yamani halaman 175 cetakan Maktabah al-Barakah dan kitab al-Hawi lil Fatawi karya al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi juz 2 halaman 179 cetakan Darul Kutub, Bairut.

Syaikh Isma’il Zain al-Yamani menulis sebagai berikut (kami kutib secara garis besar):
Dalam Sunan Abu Dawud hadits nomer 2894 dituliskan:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ أَخْبَرَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ أَخْبَرَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ اْلأَنْصَارِ قَالَخَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ثُمَّ قَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِي شَاةً فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدْ اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا فَلَمْ يُوجَدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَطْعِمِيهِ اْلأُسَارَى

“Muhammad bin al-‘Ala’ menceritakan dari (Abdullah) bin Idris dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya (Kulaib) dari
 seorang laki-laki Anshar (shahabat), berkata: ‘Aku keluar bersama Rasulallah berta’ziyah ke salah satu jenazah. Selanjutnya aku melihat Rasulallah di atas kubur berpesan kepada penggali kubur (dengan berkata): ‘Lebarkanlah bagian arah kedua kaki dan lebarkan pula bagian arah kepala!’ Setelah Rasulallah hendak kembali pulang, tiba-tiba seseorang yang menjadi pesuruh wanita (istri mayit) menemui beliau, mengundangnya (untuk datang ke rumah wanita tersebut). Lalu Rasulallah pun datang dan diberi hidangan suguhan makanan. Kemudian Rasulallah pun mengambil makanan tersebut yang juga diikuti oleh para shahabat lain dan memakannya. Ayah-ayah kami melihat Rasulallah mengunyah sesuap makanan di mulut beliau, kemudian Rasulallah berkata: ’Aku merasa menemukan daging kambing yang diambil dengan tanpa izin pemiliknya?!’ Kemudian wanita itu berkata: ’Wahai Rasulallah, sesungguhnya aku telah menyuruh untuk membeli kambing di Baqi,[1] tapi tidak menemukannya, kemudian aku mengutus untuk membeli dari tetangga laki-laki kami dengan uang seharga (kambing tersebut) untuk dikirimkan kepada saya, tapi dia tidak ada dan kemudian saya mengutus untuk membeli dari istrinya dengan uang seharga kambing tersebut lalu oleh dia dikirimkan kepada saya.’ Rasulallah kemudian menjawab: ’Berikanlah makanan ini kepada para tawanan!’”

Hadits Abu Dawud tersebut juga tercatat dalam Misykah al-Mashabih karya Mulla Ali al-Qari bab mukjizat halaman 544 dan tercatat juga dalam as-Sunan al-Kubra serta Dala’il an-Nubuwwah, keduanya karya al-Baihaqi.

Komentar Syaikh Ismail tentang status sanad hadits di atas, beliau berkata bahwa dalam Sunan Abu Dawud tersebut, Imam Abu Dawud diam tidak memberi komentar mengenai statusnya, yang artinya secara kaidah (yang dianut oleh ulama termasuk an-Nawawi dalam mukaddimah al-Adzkar) bahwa hadits tersebut boleh dibuat hujjah, artinya status haditsnya berkisar antara hasan dan shahih. Al-Hafizh al-Mundziri juga diam tidak berkomentar, yang artinya bahwa hadits tersebut juga boleh dibuat hujjah.

Perawi yang bernama Muhammad bin al-‘Ala’ adalah guru Imam al-Bukhari, Muslim dan lain-lain dan jelas termasuk perawi shahih. Abdullah bin Idris dikomentari oleh Ibnu Ma’in sebagai perawi tsiqah dan di katakan oleh Imam Ahmad sebagai orang yang tidak ada duanya (nasiju wahdih). Sementara ‘Ashim, banyak yang komentar dia adalah perawi tsiqah dan terpercaya, haditsnya tidak mengapa diterima, orang shalih dan orang mulia penduduk Kufah. Sedangkan laki-laki penduduk Madinah yang di maksud adalah shahabat Nabi yang semuanya adalah adil tanpa ada curiga sama sekali. Dari keterangan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa hadits di atas adalah hadits hasan yang bisa dibuat hujjah.

Sedangkan dari sisi isinya, hadits tersebut mengandung beberapa faidah dan hukum penting, di antaranya:
1. Menunjukkan mukjizat Rasulallah yang dapat mengetahui haram tidaknya sesuatu tanpa ada seseorang yang memberi tahu. Oleh karena itu, al-Baihaqi dalam Dala’il an-Nubuwwah menyebutkan hadits ini dalam bab Mukjizat.
2. Jual belinya seseorang yang bukan pemilik atau wakil (bai’ fudhuli) adalah tidak sah dan bathil. Oleh karennya, Abu Dawud menyebutkan hadits ini dalam Sunan-nya di bagian bab Jual Beli.
3. Akad yang mengandung syubhat seyogianya dihindari agar tidak jatuh pada limbah keharaman.
4. Diperbolehkannya bagi keluarga mayit membuat hidangan atau walimah dan mengundang orang lain untuk hadir memakannya. Bahkan, jika difahami dari hadits tersebut, melakukan walimah tersebut adalah termasuk qurbah (ibadah). Sebab, adakalanya memberi makan bertujuan mengharapkan pahala untuk si mayit -termasuk utama-utamanya qurbah- serta sudah menjadi kesepakatan bahwa pahalanya bisa sampai kepada mayit. Mungkin pula bertujuan menghormati tamu dan niat menghibur keluarga yang sedang mendapat musibah agar tidak lagi larut dalam kesedihan. Baik jamuan tersebut dilakukan saat hari kematian, seperti yang dilakukan oleh istri mayit dalam hadits di atas, atau dilakukan di hari-hari berikutnya. (Mungkin maksud Syaikh Ismail adalah hari ke-7, 40, 100 dan 1000).

Hadits di atas juga di nilai tidak bertentangan dengan hadits masyhur berikut:

إِصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُنَّ مَا يُشْغِلُهُنَّ أَوْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ

“Buatlah makanan untuk keluarga Ja‘far, karena anggota keluarga yang wanita sedang sibuk atau anggota keluarga laki-laki sedang sibuk.”

Menurut Syaikh Isma‘il, hadits tersebut (keluarga Ja'far) ada kemungkinan (ihtimal) khusus untuk keluarga Ja‘far, karena Rasulallah melihat keluarga Ja‘far tersebut sedang dirundung duka sehingga anggota keluarganya tidak sempat lagi membuat makanan. Kemudian Rasulallah menyuruh anggota keluarga beliau untuk membuatkan makanan bagi keluarga Ja‘far. Selain itu juga, tidak ada hadits yangsharih (jelas) yang menjelaskan bahwa Rasulallah melarang bagi keluarga mayit membuat hidangan atau walimahan untuk pentakziyah. 
Pernyataan ini dikuatkan dengan riwayat dalam Shahih al-Bukhari dari Aisyah:

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِينَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ التَّلْبِينَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيضِ تَذْهَبُ بِبَعْضِ الْحُزْنِ

“Dari Aisyah, istri Rasulallah, ketika salah satu keluarganya ada yang meninggal, para wanita-wanita berkumpul dan kemudian pergi kecuali anggota keluarganya dan orang-orang tertentu. Kemudian beliau memerintahkan untuk membawakannya periuk berisi sup yang terbuat dari tepung yang dicampuri dengan madu kemudian dimasak. Kemudian dibuatlah bubur sarid dan sup tadi dimasukkan ke dalam bubur tersebut. Lalu beliau berkata: ‘Makanlah makanan ini karena aku mendengar dari Rasulallah bersabda bahwa bahwa sup dapat melegakan hati orang yang sedang sakit; menghilangkan sebagian kesusahan.”

Orang yang mengerti kaidah syari’at berpandangan bahwa walimah yang dibuat oleh keluarga mayit adalah tidak dilarang selama mereka membuat walimah tersebut karena taqarrub kepada Allah, menghibur keluarga yang sedang mendapat musibah dan menghormat para tamu yang datang untuk bertakziyah. Tentunya, semua itu jika harta yang digunakan untuk walimah tersebut tidak milik anak yatim, yakni jika salah satu keluarga yang ditinggalkan mayit ada anak yang masih kecil (belum baligh).

Adapun menanggapi perkataan (hadits) al-Jarir bin Abdillah yang mengatakan bahwa berkumpul dengan keluarga mayit dan membuatkan hidangan untuk mereka adalah termasuk niyahah (meratapi mayit) yang diharamkan, Syaikh Isma‘il memberi jawaban: “Maksud dari ucapan Jarir tersebut adalah mereka berkumpul dengan memperlihatkan kesedihan dan meratap. Hal itu terbukti dari redaksi ucapan Jarir yang menggunakan kata niyahah. Hal itu menunjukkan bahwa keharaman tersebut dipandang dari sisi niyahah dan bukan dari berkumpulnya. Sedangkan apabila tidak ada niyahah tentu hal tersebut tidak di haramkan.”

Sedangakan menjawab komentar ulama-ulama yang sering digunakan untuk mencela budaya di atas[2] (tentang hukum sunah bagi tetangga keluarga mayit membuat atau menyiapkan makanan bagi keluarga mayit sehari semalam) yang dimaksudkan adalah obyek hukum sunah tersebut adalah bagi keluarga mayit yang sedang kesusahan seperti yang dialami keluarga Ja‘far. Oleh karena itu, tidak ada dalil tentang hukum makruh membuat walimah oleh keluarga mayit secara mutlak kecuali dari (memahami) hadits keluarga Ja‘far dan hadits Jarir di atas. Ada kemungkinan juga ulama-ulama tersebut belum pernah melihat hadits ‘Ashim di atas yang menerangkan tentang bolehnya membuat walimah bagi keluarga mayit.

Al-‘Allamah Mulla Ali al-Qari mengatakan: “Zhahir dari hadits ‘Ashim tersebut menentang apa yang diputuskan oleh para ulama kita (ashhabuna) tentang dimakruhkannya membuat walimah di hari pertama, ketiga atau setelah seminggu.” Adapun dalil bahwa pahala shadaqah yang dihadiahkan kepada mayit itu sampai kepadanya adalah riwayat al-Bukhari dari Aisyah:

أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ

“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulallah Saw.: ‘Ibu saya telah meninggal, dan aku berprasangka andai dia bisa berbicara pasti dia akan bersedekah, maka apakah dia mendapat pahala jika aku bersedekah untuknya?’ Rasulallah menjawab: ‘Benar.’”

Hadits shahih ini adalah hujjah tentang pahala shadaqah yang sampai kepada mayit. Maka dari itu, pembaca jangan terperdaya dengan ‘pandangan’  bahwa hadits-hadits tentang pahala shadaqah tersebut adalah dha‘if dan secara isyarah dia melemahkan hadits shahih al-Bukhari di atas. Sungguh brutal dan ‘ngawur’ sekali! Bukan dalang tapi mendalang. Bukan ahli hadits tapi menilai hadits. Apalagi sampai mendhaifkan hadits dalam shahih Bukhari yang mempunyai sanad (bukan mu’allaq) dan sudah menjadi kesepakatan ulama termasuk hadits shahih.

Fatwa as-Suyuthi:
Terdapat keterangan ulama bahwa mayit difitnah (ditanya malaikat Munkar dan Nakir) di dalam kuburnya adalah selama 7 hari (setelah hari penguburan) sebagaimana tersirat dalam hadits yang dibawakan oleh beberapa ulama. Hadits yang dibuat landasan tersebut adalah:
1. Hadits riwayat Ahmad dalam az-Zuhd dari Thawus.
2. Hadits riwayat Abu Nu’aim al-Ashbahani dari Thawus.
3. Hadits riwayat Ibnu Juraij dalam al-Mushannaf dari ‘Ubaid bin ‘Umair (sebagian berkomentar dia adalah pembesar tabi’in dan sebagian yang lain mengatakan dia seorang shahabat). Al-Hafizh Ibnu Rajab menisbatkan pada Mujahid dan ‘Ubaid bin ‘Umair.

Hadits-hadits tersebut adalah:

قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لَهُ حَدَّثَنَا هَاشِمٌ بْنُ اْلقَاسِمِ قَالَ ثَنَا اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعِمُوا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ قَالَ الْحَافِظُ أَبُو نُعَيْمٍ فِي الْحِلْيَةِ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ بْنِ مَالِكٍ ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدَ ابْنُ حَنْبَلَ ثَنَا أُبَيُّ ثَنَا هَاشِمٌ بْنُ الْقَاسِمِ ثَنَا اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قاَلَ طَاوُوسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ 
ذِكْرُ الرِّوَايَةِ الْمُسْنَدَةِ عَنْ عُبَيْدٍ بْنِ عُمَيْرٍ: قاَلَ ابْنُ جُرَيْجٍ فِي مَصَنَّفِهِ عَنِ الْحَارِثِ ابْنِ أَبِي الْحَارِثِ عَنْ عُبَيْدٍ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ يُفْتَنُ رَجُلاَنِ مُؤْمِنٌ وَمُنَافِقٌ فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا 

“Imam Ahmad dalam az-Zuhd berkata: ‘Hasyim bin Qasim bercerita kepadaku dari al-Asyja‘i dari Sufyan dari
 Thawus, dia berkata: Sesungguhnya mayit di dalam kuburnya terfitnah (ditanyai Malaikat Munkar dan Nakir) selama 7 hari. Dan mereka menganjurkan supaya membuat (walimahan) dengan memberi makan (orang-orang), (yang pahalanya dihadiahkan) untuk si mayit tersebut di hari-hari tersebut.”Selanjutnya hadits riwayat berikutnya adalah sama secara makna. 

Sebelum membahas isi dari hadits ini, marilah kita bahas terlebih dahulu diri sisi sanadnya, sehingga kita akan tahu layak dan tidaknya hadits ini untuk dibuat hujjah.

1. Perawi-perawi hadits yang pertama adalah shahih dan Thawus adalah termasuk pembesar tabi’in.
2. Hadits yang diriwayatkan dan tidak mungkin dari hasil ijtihad shahabat atau tabi’in hukumnya adalah marfu’ bukan mauquf, seperti hadits yang menerangkan tentang alam barzakh, akhirat dan lain-lain sebagaimana yang sudah maklum dalam kaidah ushul hadits.
3. Atsar Thawus tersebut adalah termasuk hadits marfu’ yang mursal dan sanadnya shahih serta boleh dibuat hujjah menurut Abu Hanifah, Malik dan Ahmad secara mutlak tanpa syarat. Sedangkan menurut asy-Syafi‘i juga boleh dibuat hujjah jika ada penguat seperti ada riwayat yang sama atau riwayat dari shahabat yang mencocokinya. Syarat tersebut telah terpenuhi, yaitu dengan adanya riwayat dari Mujahid dan ‘Ubaid bin ‘Umair dan keduanya seorang tabi’in besar (sebagian mengatakan ‘Ubaid adalah shahabat Rasulallah). Dua hadis riwayat selanjutnya adalah hadits mursal yang menguatkan hadits mursal di atas.
4. Menurut kaidah ushul, kata-kata “mereka menganjurkan memberi makan di hari-hari itu” adalah termasuk ucapan tabi’in. Artinya, kata “mereka” berkisar antara shahabat Rasulallah, di zaman Rasulallah, dan beliau taqrir (setuju) terhadap prilaku tersebut atau artinya adalah shahabat tanpa ada penisbatan sama sekali kepada Rasulallah. Ulama juga berselisih apakah hal itu adalah ikhbar (informasi) dari semua shahabat yang berarti menjadi ijma’ atau hanya sebagian dari shahabat saja.

Dari hadits di atas dapat difahami dan digunakan sebagai:
1. Dasar tentang i’tiqad bahwa fitnah kubur adalah selama 7 hari.
2. Penetapan hukum syara' tentang disunahkannya bershadaqah dan memberi makan orang lain di hari-hari tersebut. Serta, dapat dijadikan dalil bahwa budaya memberi makan warga Nahdhiyyin saat hari pertama sampai hari ketujuh dari hari kematian adalah terdapat dalil yang mensyariatkannya.
As-Suyuthi juga mengatakan: “Sunah memberi makan selama 7 hari tersebut berlaku sampai sekarang di Makkah dan Madinah, dan secara zhahirnya hal itu sudah ada dan tidak pernah ditinggalkan masyarakat sejak zaman shahabat sampai sekarang. Dan mereka mengambilnya dari salaf-salaf terdahulu.”
Al-Hafizh Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari Abul Fath Nashrullah bin Muhammad bahwa Nashr al-Maqdisi wafat di hari Selasa tanggal 9 Muharram tahun 490 hijriyyah di Damaskus dan kami menetap di makamnya selama 7 hari membaca al-Qur’an sebanyak 20 khataman.

Adapun melakukan acara 40 hari, 100 hari atau 1000 hari dari kematian dengan melakukan tahlilan dan bershadaqah memang tidak ada dalil yang mengatakan sunah. Namun demikian, melakukan budaya tersebut diperbolehkan menurut syariat. Dan seyogianya bagi yang mengadakan acara tersebut tidak mengi’tiqadkan bahwa hal tersebut adalah sunnah dari Rasulallah, tetapi cukup berniat untuk bershadaqah dan membacakan Al-Qur’an, yang mana pahalanya dihadiahkan kepada mayit, sebagaimana keterangan di atas.

Bagi yang mengatakan bahwa tahlilan kematian dan budaya 7 hari, 40 hari, 100 hari dan 1000 hari adalah budaya Hindu dan melakukannya adalah syirik karena menyerupai orang kafir (dia juga membawakan hadits tentang tasyabbuh riwayat ath-Thabarani dan Abu Dawud), kami menjawab sebagai berikut:

1. Sebagian dari pernyataannya tentang acara selamatan 7 hari yang katanya adalah merupakan salah satu dakwah (ajaran syari’at) umat Hindu sudah terbantah dengan hadits-hadits di atas.
2. Andai anggapan tersebut benar adanya, bahwasannya budaya walimah kematian 7 hari, 40 hari dan sebagainya tersebut adalah bermula dari budaya warisan umat Hindu Jawa, sebagaimana yang di yakini oleh bebarapa Kyai dan ahli sejarah babat tanah Jawa, dan di saat ajaran Islam yang di bawa Wali Songo datang, budaya tersebut sudah terlanjur mendarah daging dengan kultur masyarakat Jawa kala itu. Kemudian dengan dakwah yang penuh hikmah dan kearifan dari para wali, budaya yang berisi kemusyrikan tersebut di giring dan di arahkan menjadi budaya yang benar serta sesuai dengan ajaran Islam, yaitu dengan diganti dengan melakukan tahlilan, kirim do’a untuk orang yang telah meninggal atau arwah laluhur dan bersedekah. Maka sebenarnya jika kita kembali membaca sejarah Islam bahwasannya methode dakwah wali 9 yang mengganti budaya Hindu tersebut dengan ajaran yang tidak keluar dari tatanan syariat adalah sesuai dengan apa yang di lakukan oleh Rasulallah yang mengganti budaya Jahiliyyah melumuri kepala bayi yang di lahirkan dengan darah hewan sembelihan dan diganti dengan melumuri kepala bayi dengan minyak zakfaron. Apa yang di lakukan Rasulallah tersebut tersirat dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrak, Abu Dawud dalam Sunan-nya, Imam Malik dalam al-Muwaththa’ dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubrayang semuanya di riwayatkan dari shahabat Abu Buraidah al-Aslami berikut:
 
كُنَّا فِى الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لأَحَدِنَا غُلاَمٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَّخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالإِسْلاَمِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنَلْطَخُهُ بِزَعْفَرَانٍ

“Saat kami masih hidup di zaman Jahiliyyah; saat salah satu dari kami melahirkan seorang bayi, maka kami
 menyembelih seekor kambing dan kepala bayi kami lumuri dengan darah kambing tersebut. Namun saat Allah mendatangkan Islam, kami menyembelih kambing, kami cukur rambut kepala bayi dan kami lumuri kepalanya dengan minyak zakfaron”

Dengan demikian, jika budaya walimah kematian di atas yang di isi dengan berbagai kebaikan seperti shodaqah penghormatan kepada tamu dan bacaan ratib tahlil atau dzikir-dzikir lain di anggap sebagai sesuatu yang keluar dari jalur syariat dan bid'ah yang sesat, maka sebenarnya anggapan tersebut sama dengan menganggap dakwah wali songo tersebut tidak benar dan mereka adalah pendakwah yang sesat. Na'udzu billah. 

1. Tasyabbuh dengan orang kafir yang dihukumi kufur adalah jika tasyabbuh dengan kelakuan kufur mereka, memakai pakaian ciri khas mereka, atau sengaja melakukan syiar-syiar kekufuran bersama-sama dengan mereka. Atau ringkasnya, tasyabbuh yang menjadikan kufur adalahtasyabbuh dengan mereka secara mutlak (zhahiran wa bathinan). Sedangakan tasyabbuh yang dihukumi haram adalah jika tasyabbuh tersebut diniatkan menyerupai mereka di dalam hari-hari raya mereka.[3] Padahal kita tahu, acara selamatan sudah ada sejak dulu dan juga selamatan tidak pernah tasyabbuh dengan kekufuran dan hari-hari raya mereka. Andaipun tuduhan itu benar, bahwa selamatan merupakan budaya Hindu, maka juga tidak bisa dihukumi kufur atau haram karena warga Nahdhiyyin sama sekali tidak ada niat tasyabbuh dengan budaya mereka. Selain dari pada itu, umat Hindu tidak pernah mengenal tahlilan sama sekali. Lalu kenapa dikatakan tasyabbuh dan dihukumi haram? dan masihkan acara yang dilakukan oleh warga Nahdhiyyin tersebut dianggap sebagai budaya bid’ah dan sesat?

[1] Sebagian riwayat menyebutkan Naqi (tempat pembelian kambing).
[3] Lihat Faidh al-Qadir 6/128 (hadits no 8593) dan Bughyatul Mustarsyidin hlm. 248