Menjaharkan
dzikir setelah shalat dapat dijadikan contoh dalam menyikapi secara dewasa
perbedaan pendapat. Kita akan sadar bahwa khilafiyah adalah pilihan-pilihan,
keluasan, keleluasaan dan kemudahan. Sehingga kita dapat menghindari sikap
saling menyalahkan atau saling membid’ahkan. Berikut ini diuraikan
masing-masing pendapat :
A. Menjaharkan dzikir setelah shalat adalah
bertentangan dengan Sunnah
Imam
Alaa-uddin al-Kaasaani al-Hanafi dalam bukunya “Bada I’ush Shanaa-ie
fii Tartiebsy Syaraa, dari Abu Hanifah berkata: “Mengeraskan suara takbir pada
asalnya adalah bid’ah, karena takbir adalah dzikir. Sunnahnya dzikir diucapkan
dengan suara lembut. Allah berfirman: “Berdoalah
kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Nabi bersabda: “Do’a yang terbaik adalah yang diucapkan
dengan suara lembut”
Dalam
kitab “Ad Durrats Tsamin” karya asy-Syaikh Muhammad bin Ahmad Miyarah
disebutkan bahwa Imam Malik beserta ulama membenci kebiasaan para imam
yang memimpin para jamaah masjid untuk berdo’a bersama dengan suara keras di
setiap selesai shalat wajib. Al-Imam
asy-Sathiby telah menukil dalam kitabnya “Al I’tishaam” tentang kisah
seorang laki-laki dari kalangan pembesar kerajaan yang terhormat, terkenal
dengan sifat keras dan kasar. Laki-laki itu singgah di sebuah rumah tetangga
Ibnu Mujahid. Sementara Ibnu Mujahid tidak pernah berdo’a setiap selesai
melakukan shalat wajib lantaran ia berpegang pada madzhab Imam Malik yang
mengatakan makruh. Al-Imam an-Nawawi
dalam “Al-Majmuu’” berkata: “Imam Syafi’i beserta para pengikutnya sepakat atas
disunnahkannya berdzikir setiap selesai shalat. Hal ini disunnahkan bagi
seorang imam, makmum, sendirian, laki-laki, perempuan, orang musafir dan
lainnya. Adapun kebiasaan orang-orang atau kebanyakan mereka yang mengkhususkan
do’a seorang imam dalam dua waktu shalat, yakni shubuh dan ashar tidak ada
dalilnya.
Saikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Tak seorang pun ulama hadits yang
telah meriwayatkan hadits Nabi tentang imam dan makmum berdo’a bersama selesai
shalat. Allah ta’ala telah berfirman: “Maka apabila kamu telah selesai (dari
sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan
hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” Telah diriwayatkan beberapa pendapat mengenai
dua ayat tersebut. Dalam satu riwayat: “Maka apabila kamu selesai shalat,
berdo’alah kepada Raabmu dan mohonlah kepada-Nya segala keperluanmu. Pendapat
ini dinukil dari Ibnu Jarir ath-Thabary dalam tafsirnya, Ibnu Abi Hatim,
asy-Syam’any, al-Qurthuby, Ibnul Jauzi, Ibnu Katsir, asy-Syaukany, as-Sya’di,
dan Ahli tafsir yang lainnya.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Berkumpul untuk membaca al-Qur’an,
berdzikir dan berdo’a adalah perbuatan baik dan disunnahkan, selama hal itu tidak
dijadikan sebagai kebiasaan, dzikir
secara bersama-sama setelah melaksanakan sholat adalah perkara yang bid’ah,
tetapi bila tujuannya untuk mengajari orang lain sesekali saja maka hal itu
diperbolehkan, tetapi tidak dilakukan setiap hari.
B. Menjaharkan Dzikir setelah shalat adalah sunnah
Dzikir
setelah shalat merupakan ibadah yang sangat disunnahkan dan salah satu kebiasaan
Rasulullah SAW Dalam sahih Bukhari dan Muslim disebutkan pada Bab Dzikir
setelah shalat, dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau
berkata :
أَنَّ
رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ
كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ
عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
“Sesungguhnya
mengeraskan suara dzikir ketika orang-orang usai melaksanakan shalat wajib
merupakan kebiasaan yang berlaku pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam.” Ibnu Abbas menambahkan, ‘Aku mengetahui mereka selesai shalat dengan
itu, apabila aku mendengarnya.” Masih
dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:
كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلَاةِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّكْبِير
“Aku
megetahui selesainya shalat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan takbir.” (HR.
al-Bukhari)
Hadits-hadits
di atas merupakan dalil tentang sunnahnya menjaharkan (mengeraskan) suara
dzikir sesudah shalat
Ibnu
Huzaiman memasukkan hadits di atas daam kitab
Shahih-nya, dan memberinya judul, Bab: Raf’u al-Shaut bi al-Takbiir wa
al-Dzikr ‘inda Inqidha’ al-Shalah..( hal ini menunjukkan bahwa beliau
memahami bolehnya mengeraskan takbir dan dzikir sesudah shalat). Ibnu Daqiq al-‘Id, juga menyatakan hal yang
sama, (Ihkamul Ahkam Syarah Umdatul Ahkam).
Imam
al-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim mengatakan,
bahwa hadits ini adalah dalil bagi pendapat sebagian ulama salaf bahwa
disunnahkan mengeraskan suara takbir dan dzikir sesudah shalat wajib. Dan di
antara ulama muta’akhirin yang menyunahkannya adalah Ibnu Hazm al-Zahiri. Imam
al-Syafi’i, memaknai hadits di atas dengan mengatakan, bahwa beliau SAW mengeraskan
(dzikir sesudah shalat) hanya dalam waktu sementara saja untuk mengajari mereka
tentang sifat dzikir, (Lihat Syarah Shahih Muslim lin Nawawi).
Fatwa-fatwa para ulama tentang dzikir
sesudah shalat:
Fatwa Syaikh
Utsaimin rahimahullaah, beliau pernah ditanya tentang hukum menjaharkan
dzikir sesudah shalat lima waktu dan bagaimana cara pelaksanaannya? Beliau
menjawab: Bahwa sesungguhnya menjaharkan dzikir sesudah shalat fardhu adalah
sunnah. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari hadits Abdullah bin
Abbas (Fatawa wa Rasail Ibni Utaimin,
jilid 13), Fatwa Syaikh Ibnu Bazz ,
Beliau menjelaskan: Yang sunnah adalah menjaharkan dzikir sesudah shalat lima
waktu dan sesudah shalat Jum’at ba’da salam… (Kumpulan pertanyaan yang
ditujukan kepada Syaikh Ibnu Bazz oleh Muhammad al-Syayi’)
Syaikh
Shalih al-Fauzan : “Doa
yang dicontohkan dari Nabi SAW dan yang disyari’atkan, seseorang diberi pilihan
antara menjaharkannya atau melirihkannya. Adapun berdoa dengan berjama’ah
(bersama-sama), maka termasuk bid’ah. Sedangkan
dzikir sesudah shalat, maka yang sunnah adalah menjaharkannya sesuai dengan
hadits-hadits shahih yang menyebutkan bahwa para sahabat menjaharkannya sesudah
shalat (al-Muntaqa’
min Fatawa al-Fauzan: Juz 3). Fatwa Lajnah Daimah : Disyariatkan untuk
mengeraskan dzikir setelah shalat wajib, karena adanya keterangan yang shahih
dari hadits Ibnu Abbas RA, Imam an-Nawawi sendiri dalamm kitab
“Tahqiq” dimana beliau berkata: “Disunnahkan berdzikir dan berdo’a dengan suara
rendah setiap selesai shalat. Dan jika seorang imam ingin mengajari para
makmum, boleh baginya mengeraskan dzikirnya, dan apabila mereka sudah mengerti,
imam itu kembali merendahkan suara dzikirnya.
Dalam potongan hadits qudsi Allah berfirman, “Jika mereka menyebut-Ku
dalam suatu kumpulan, maka Aku menyebut mereka dalam kumpulan yang lebih baik.”
Kumpulan yang lebih baik di sisi Allah biasa ditafsirkan sebagai Malaikat.
Sabda Rasulullah SAW lainnya: “Apabila kamu melintasi taman-taman surga, maka
hendaklah engkau singgah.” Para shahabat
bertanya, “Apakah taman-taman surga itu?” Beliau menjawab, “Kumpulan-kumpulan
orang yang berdzikir.” Pada riwayat lain dikatakan “Majelis-majelis dzikir.”
Dari Abu Hurairah RA: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah Yang
Maha Memberkati lagi Maha Tinggi, memiliki para Malaikat yang mempunyai
kelebihan yang diberikan oleh Allah. Para Malaikat selalu mengelilingi bumi.
Para Malaikat senantiasa memerhatikan majlis-majlis zikir. Apabila mereka
dapati ada satu majlis yang dipenuhi dengan zikir, mereka turut mengikuti
majlis tersebut di mana mereka akan melingkunginya dengan sayap-sayap mereka
sehinggalah memenuhi ruangan antara orang yang menghadiri majlis zikir tersebut
dan langit…” dan diakhiri dengan, “Allah berfirman: Aku sudah mengampuni
mereka. Aku telah kurniakan kepada mereka apa yang mereka mohon dan Aku telah
berikan ganjaran pahala kepada mereka sebagaimana yang mereka mohonkan.” Para
Malaikat berkata: “Wahai tuhan kami, di antara mereka terdapat seorang hambaMu.
Dia penuh dengan dosa, sebenarnya dia tidak berniat untuk menghadiri majlis
tersebut, tetapi setelah dia melaluinya dia terasa ingin menyertainya lalu
duduk bersama-sama orang ramai yang berada di majlis itu.” Lalu Allah
berfirman: “Aku juga telah mengampuninya. Mereka adalah kaum yang tidak
dicelakakan dengan majlis yang mereka adakan.” (HR. Bukhori dan Muslim)
_______________
Disampaikan
Oleh : Ust. Azkan Ihsan, S.Sos.I / 081379997779 Pada Pengajian Rutin
Mingguan Masjid Baitul Hidayah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar