Selasa, 20 Desember 2011

DAHULUKAN UKHUWAH DIATAS KHILAFIYAH


Berbagai mazhab yang ada, terutama mazhab yang empat dari Ahli Sunnah (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) ditambah satu lagi mazhab Ja’fari semuanya menganjurkan dan mengingatkan pengikutnya bahwa kita harus mendahulukan ukhuwah di atas khilafiyah Dengan demikian kita tidak terlalu sulit untuk meninggalkan (perselisihan) fikih demi menjaga persaudaraan diantara kaum muslimin. Berikut ini, mari kita perhatikan beberapa kasus yang menunjukkan betapa para Shahabat dan ulama mendahulukan ukhuwah (persaudaraan) di atas khilafiyah ( perbedaan) :

1. Kisah di Zaman Utsman ra. Pada zaman pemerintahannya, Utsman berangkat menuju Mekah untuk menunaikan haji. Ketika sampai di Mekah ia menikahi seorang perempuan di sana. Selama tinggal di Mina untuk melempar jumrah, ia mengimami shalat Zhuhur dan Ashar dengan empat rekaat, tidak di-qashar. Ia berijtihad bahwa pernikahannya di Mekah memberinya status sebagai muqim (orang tempatan). Berita ini langsung menyebar dan menjadi obrolan marak, ketika sampai kepada Abdullah bin Mas’ud ra., beliau segera berucap, “Innâ lillâhi wa inna ilaihi râji’ûn”. Kemudian Abdullah bin Mas’ud berkata, “Aku shalat bersama Rasulullah Saw di Mina dua Rekaat (di-qashar). Aku shalat bersama Abu Bakar, begitu juga bersama Umar dua rekaat di Mina pada shalat Zhuhur dan Ashar”. Bagi Abdullah bin Mas’ud yang dilakukan Utsman adalah musibah yang menyalahi sunah Rasulullah Saw, Abu Bakar dan Umar. Dengan demikian Utsman telah berbuat bid’ah. Sedangkan bagi Utsman perbutannya sudah benar karena ia berstatus muqim, sedangkan Rasulullah Saw, Abu Bakar dan Umar berstatus safar (sedang dalam perjalanan). (lihat Shahih Al-Bukhari, 2:263, dan Shahih Muslim, 1:483).

Menurut Al-A’masy, Abdullah bin Mas’ud ternyata shalat di Mina empat rekaat juga (tidak di-qashar) mengikuti Utsman bin Affan. Menyaksikan hal tersebut orang bertanya kepada Abdullah bin Mas’ud. Katanya engkau menolak shalatnya Utsman tetapi mengapa engkau bermakmum mengikuti Utsman. Abdullah bin Mas’ud manjawab, “memang benar, berdasarkan hadisnya aku tidak setuju dengan Utsman, tetapi beliau saat ini adalah khalifah (pemimpin umat) dan imam. Jadi aku tidak akan menentangnya. Karena, Wal khilâfu syarr (semua pertentangan atau perselisihan itu buruk). (Diriwayatkan dalam Sunan Abu Sawud, 2:491, nomor 1960; dan Sunan Al-Baihaqy, 3: 143-144).

Yang menarik untuk kita Perhatikan adalah sikap Abdullah bin Ma`sud. Ia memang berpendapat salat Zhuhur dan Ashar harus di-qasar saat di Mina; tetapi ia tidak mempratekkan pendapatnya itu karena menghormati Utsman sebagai imam dan karena ia ingin menghindari pertengkaran. Inilah contoh ketika sahabat yang mulia mendahulukan ukhuwah di atas khilafiyah. (Majmu` Fatawâ, Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah, 22 : 406-407 )

2.  Prinsip yang dicontohkan guru besar dan pendiri Al-Ikhwan Al-Muslimin, Imam Hassan Al-Banna.  Pada permulaan malam Ramadhan, ia datang ke sebuah masjid di Mesir. Ia menemukan jemaah masjid itu sudah terbelah menjadi dua. Mereka sedang bertengkar berhadap-hadapan, dengan suara yang keras. Suatu kelompok menjelaskan bahwa terawih yang sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw adalah sebelas rakaat. Kelompok lainnya, dengan merujuk pada hadis, menegaskan bahwa salat tarawih dengan dua puluh tiga rakaat lebih utama. Hasan Al-Banna bertanya kepada kedua kelompok itu, “Apa hukumnya salat tarawih?”, keduanya menjawab, “Sunnat”. Beliau bertanya lagi, “Apa hukumnya berdebat di rumah Allah dengan suara keras?”. Mereka menjawab, (mungkin dengan suara lirih), “Haram”. Imam Hassan Al-Banna bertanya, “Mengapa kalian malah melakukan yang haram untuk mempertahankan yang sunnat?”. Dengan kalimat yang lain, Imam Hasan Al-Banna menegur kaum muslimin, “Mengapa kalian mempertahankan fikih yang khilafiyah dengan mengorbankan ukhuwah?” Hasan Al-Banna melenjutkan keteladanan ulama shalih sebelumnya.

3.  Abdul Malik bin Hasyim berpendapat bahwa dianjurkan mengangkat tangan pada setiap pergantian gerakan shalat terutama pada saat mengangkat atau menurunkan kepala. Tetapi beliau tidak mengamalkannya sehingga muridnya, Ibnu Abdul Birr bertanya, “Mengapa anda tidak mengangkat tangan, supaya kami mengikuti Anda?”. Abdul Malik menjawab: “Aku tidak ingin menentang pendapat Ibnul Qasim. Karena sekarang ini masyarakat sedang berimam kepadanya. Bertentangan dengan masyarakat pada hal yang diperbolehkan untuk berbeda (khilafiyah) bagi kita bukanlah akhlak para imam.” ( Dalam Kitab Al-Istidzkar, 2 : 124).

4.      Ibn Taimiyah pernah ditanya apakah “basmalah” dalam shalat itu dikeraskan atau dipelankan. Ia menyebutkan pendapat sebagian ahli fikih dan ahli hadis menganjurkan untuk men-sirr-kan basmalah. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal lebih menyukai pendapat yang mengeraskan basmalah. Tetapi para pengikutnya memilih untuk men-sirr-kan basmalah bila dibaca di kota Madinah. Karena Penduduk Madinah menentang orang yang mengeraskan Basmalah. Segera setelah itu, Ibn Taimiyah berkata, “Sebaiknya orang meninggalkan pendapat yang disukainya untuk memelihara persaudaraan diantara manusia. kemaslahatan yang terjadi karena pertalian hati dalam agama lebih besar ketimbang kemaslahatan karena mengamalkan paham fikih seperti ini.

5.    Umumnya dalam mazhab Maliki di-Makruh-kan membaca “basmalah” pada surat Al-Fatihah baik keras maupun pelan ketika shalat. Diceritakan bahwa Imam Al-Mazari, salah seorang ulama besar bermazhab Maliki, membaca basmalah pada surat Al-Fatihah ketika mengimami masyarakat yang bermazhab Syafi’i. Ketika orang mempertanyakan amalnya ini, beliau menjawab dengan bijak, “Menurut mazhab Maliki orang yang membaca basmalah tidak membatalkan shalat. Menurut mazhab Syafi’i orang yang tidak membaca basmalah batal shalatnya. Cara shalat yang disepakati lebih baik dari cara shalat yang oleh sebagian orang dianggap batal”.  Imam Al-Mazari sangat menghormati keyakinan dan pendapat para pengikut mazhab Syafi’i, sehingga beliau memakai basmalah ketika membaca Al-Fatihah.

6. khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz berkeinginan mempersatukan semua negeri di bawah pemerintahannya dalam satu mazhab fikih. Tetapi beliau segera sadar bahwa pada setiap negeri telah berlangsung fikih yang berbeda-beda. Mereka mewarisinya dari sahabat terdahulu. Para Sahabat Nabi Saw yang datang dari Syam membawa fatwa fikih yang berbeda dengan mereka yang datang dari Mesir dan Kufah; dan berbeda pula dengan yang tinggal di Mekkah dan Madinah. Akhirnya, Umar bin Abdul ‘Aziz membiarkan setiap negeri mengikuti ulama di negeri mereka masing-masing (Lihat kitab Tarikh Abu Zar’ah Al-Dimasyqi, 1: 202).

7.    Keinginan yang sama pernah terlintas dalam benak khalifah Abu Ja’far Al-Manshur, seorang khalifah bani Abbasiyah. Imam Malik adalah ulama fikih yang terkemuka pada zaman itu. Kitabnya, Al-Muwaththa’, menjadi rujukan banyak ulama di berbagai negeri. Suatu ketika Khalifah Al-Manshur bertemu dengan Imam Malik. Khalifah Al-Manshur berkata, “Aku bermaksud menurunkan perintah agar kitab yang anda tulis ini (kitab Al-Muwaththa’) digandakan menjadi banyak naskah. Lalu, setiap naskah akan aku kirimkan ke setiap negeri. Aku akan perintahkan setiap hakim (berikut ulama dan umara’) di negeri tersebut mengamalkan menurut kitab anda. Fa man khalafa dharabtu ‘unuqah (Barang siapa yang menentang akan aku penggal lehernya).

 Imam Malik kemudian berkata kepada Khalifah Al-Manshur, “Ya Amirul Mukminin, jangan lakukan hal seperti itu. Bagi setiap kaum telah berlaku berbagai pendapat, mereka telah mendengar hadis-hadis, mereka telah menyampaikan riwayat-riwayat. Setiap kaum telah mengambil fatwa dari para pendahulunya dan sudah beramal berdasarkan itu. Jika anda mengubahnya dari apa yang mereka ketahui kepada sesuatu yang tidak mereka ketahui, mereka akan menganggapnya sebagai kekafiran. Biarlah setiap negeri berpegang kepada ilmu yang ada pada mereka. Jika anda ingin mengambil ilmu tersebut ambilah untuk dirimu saja. Para Sahabat Rasulullah Saw telah berikhtilaf pada hal-hal yang furu’ dan tersebar diberbagai penjuru. Semuanya benar. Al-Manshur berkata, Jika anda menyetujuinya, sungguh aku akan memerintahkannya”. (Lihat dalam kitab Thabaqat Ibn Sa’ad, hal. 440; dan Taqdimah Al-Jarh wa Al-Ta’dil, 29).

RENUNGAN BUAT KITA SEMUA :

1.  Ali bi Abi Thalib mengatakan : Jika pemahaman seseorang tinggi, maka ia akan rendah hati Jika pemahaman seseorang rendah, maka ia akan tinggi hati” (Imam Ali Bin Abi Thalib)

2. Tinggalkan khilafiyah, jika khilafiyah itu bisa merusak ukhuwah. Ibnu Mas`ud meninggalkan pendapat fikih-nya demi memilihara akhlak yang mulia. Fikih ditinggalkan demi menghindari pertengkaran

3.   Ketika Imam Hambali ditanya tentang suatu masalah fikih, ia berkata, “Aku ahli hadis. Tanyalah Sofyan al-Tsawri ia lebih mengerti fikih ketimbang aku”. Imam Al-Tsawri berkata kepada salah seorang muridnya, “Jika kamu melihat seseorang mengamalkan sesuatu yang di-ikhtilaf-kan dan kamu punya pendapat yang lain, janganlah kamu melarang dia melakukannya” (Al-Khathib, Tarikh Baghdad, 13: 353; Al-Intifa’, 140 ).

4.     Imam Ja’far berkata Demi Allah, tidak ada ibadah yang lebih disukai oleh Allah seperti “Al-Khiba”. Muridnya bertanya, “Apakah Al-Khiba itu?”. Imam Ja’far menjawab: “Taqiyyah”. (Al-Wasa’il, Kitab Al-Amr bi Al-Ma’ruf, Bab 26). Al-Khiba atau Taqiyyah adalah menjalankan fikih yang diamalkan oleh orang kebanyakan, yang umum pada kampung tertentu, atau fikih yang telah ditetepkan oleh umara’ (penguasa) untuk menghindari pertikaian maupun perpecahan. Taqiyyah berarti tidak menonjolkan fikih kita demi memelihara persaudaraan di kalangan kaum muslimin.

5.   Fatwa Ibnu Taimiyah Abdul Jalil Isa dalam kitab Mâ La Yajûzu Fihi Al-Khilâf Bayn Al-Muslimîn, mengutip fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, antara lain “Adapun orang yang memperbesar masalah ini (masalah khilafiyah) hingga menjadi pertentangan dan perpecahan. Terjadilah mencintai orang yang sesuai dengan pendapatnya dan membenci orang-orang yang berbeda pendapat dengannya. Perbuatan ini menyerupai perbuatan penduduk negera-negara timur (Ahli Kitab), maka mereka termasuk dalam Firman Allah Ta’ala,

“Sesungguhnya (agama tauhid) ini agama kalian semua, agama yang satu. Dan Aku adalah Tuhan-mu maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka (Para pengikut rasul itu) yang telah menjadikan agama mereka berpecah-belah, tiap-tiap golongan merasa bangga dengan golongan mereka (masing-masing)” (QS. Al-Mu’minun: 53)”.

Tidak ada komentar: