Berbagai mazhab yang ada, terutama mazhab yang empat dari Ahli
Sunnah (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) ditambah satu lagi mazhab Ja’fari
semuanya menganjurkan dan mengingatkan pengikutnya bahwa kita harus mendahulukan
ukhuwah di atas khilafiyah Dengan demikian kita tidak terlalu sulit untuk
meninggalkan (perselisihan) fikih demi menjaga persaudaraan diantara kaum
muslimin. Berikut ini, mari kita perhatikan beberapa kasus yang menunjukkan
betapa para Shahabat dan ulama mendahulukan ukhuwah (persaudaraan) di atas
khilafiyah ( perbedaan) :
1. Kisah di Zaman Utsman ra. Pada zaman pemerintahannya, Utsman berangkat menuju Mekah untuk
menunaikan haji. Ketika sampai di Mekah ia menikahi seorang perempuan di sana.
Selama tinggal di Mina untuk melempar jumrah, ia mengimami shalat Zhuhur dan
Ashar dengan empat rekaat, tidak di-qashar. Ia berijtihad bahwa pernikahannya
di Mekah memberinya status sebagai muqim (orang tempatan). Berita ini langsung
menyebar dan menjadi obrolan marak, ketika sampai kepada Abdullah bin Mas’ud
ra., beliau segera berucap, “Innâ lillâhi wa inna ilaihi râji’ûn”. Kemudian
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Aku shalat bersama Rasulullah Saw di Mina dua
Rekaat (di-qashar). Aku shalat bersama Abu Bakar, begitu juga bersama Umar dua
rekaat di Mina pada shalat Zhuhur dan Ashar”. Bagi Abdullah bin Mas’ud yang
dilakukan Utsman adalah musibah yang menyalahi sunah Rasulullah Saw, Abu Bakar
dan Umar. Dengan demikian Utsman telah berbuat bid’ah. Sedangkan bagi Utsman
perbutannya sudah benar karena ia berstatus muqim, sedangkan Rasulullah Saw,
Abu Bakar dan Umar berstatus safar (sedang dalam perjalanan). (lihat Shahih
Al-Bukhari, 2:263, dan Shahih Muslim, 1:483).
Menurut Al-A’masy, Abdullah bin Mas’ud ternyata shalat di Mina empat rekaat juga (tidak
di-qashar) mengikuti Utsman bin Affan. Menyaksikan hal tersebut orang bertanya
kepada Abdullah bin Mas’ud. Katanya engkau menolak shalatnya Utsman tetapi
mengapa engkau bermakmum mengikuti Utsman. Abdullah bin Mas’ud manjawab, “memang
benar, berdasarkan hadisnya aku tidak setuju dengan Utsman, tetapi beliau saat
ini adalah khalifah (pemimpin umat) dan imam. Jadi aku tidak akan menentangnya.
Karena, Wal khilâfu syarr (semua pertentangan atau perselisihan itu buruk).
(Diriwayatkan dalam Sunan Abu Sawud, 2:491, nomor 1960; dan Sunan Al-Baihaqy,
3: 143-144).
Yang menarik untuk kita Perhatikan adalah sikap
Abdullah bin Ma`sud. Ia memang berpendapat salat Zhuhur dan Ashar harus
di-qasar saat di Mina; tetapi ia tidak mempratekkan pendapatnya itu karena
menghormati Utsman sebagai imam dan karena ia ingin menghindari pertengkaran.
Inilah contoh ketika sahabat yang mulia mendahulukan ukhuwah di atas
khilafiyah. (Majmu` Fatawâ, Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah, 22 : 406-407 )
2. Prinsip yang dicontohkan guru besar dan pendiri Al-Ikhwan
Al-Muslimin, Imam Hassan Al-Banna. Pada permulaan malam Ramadhan, ia datang ke
sebuah masjid di Mesir. Ia menemukan jemaah masjid itu sudah terbelah menjadi
dua. Mereka sedang bertengkar berhadap-hadapan, dengan suara yang keras. Suatu
kelompok menjelaskan bahwa terawih yang sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw
adalah sebelas rakaat. Kelompok lainnya, dengan merujuk pada hadis, menegaskan
bahwa salat tarawih dengan dua puluh tiga rakaat lebih utama. Hasan Al-Banna bertanya
kepada kedua kelompok itu, “Apa hukumnya salat tarawih?”, keduanya menjawab,
“Sunnat”. Beliau bertanya lagi, “Apa hukumnya berdebat di rumah Allah dengan
suara keras?”. Mereka menjawab, (mungkin dengan suara lirih), “Haram”. Imam
Hassan Al-Banna bertanya, “Mengapa kalian malah melakukan yang haram untuk
mempertahankan yang sunnat?”. Dengan kalimat yang lain, Imam Hasan Al-Banna
menegur kaum muslimin, “Mengapa kalian mempertahankan fikih yang khilafiyah
dengan mengorbankan ukhuwah?” Hasan Al-Banna melenjutkan keteladanan ulama
shalih sebelumnya.
3. Abdul Malik bin Hasyim
berpendapat bahwa dianjurkan mengangkat tangan pada setiap pergantian gerakan
shalat terutama pada saat mengangkat atau menurunkan kepala. Tetapi beliau
tidak mengamalkannya sehingga muridnya, Ibnu Abdul Birr bertanya, “Mengapa anda
tidak mengangkat tangan, supaya kami mengikuti Anda?”. Abdul Malik menjawab:
“Aku tidak ingin menentang pendapat Ibnul Qasim. Karena sekarang ini masyarakat
sedang berimam kepadanya. Bertentangan dengan masyarakat pada hal yang
diperbolehkan untuk berbeda (khilafiyah) bagi kita bukanlah akhlak para imam.”
( Dalam Kitab Al-Istidzkar, 2 : 124).
4.
Ibn Taimiyah pernah ditanya apakah “basmalah” dalam shalat itu dikeraskan atau dipelankan. Ia
menyebutkan pendapat sebagian ahli fikih dan ahli hadis menganjurkan untuk
men-sirr-kan basmalah. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal lebih menyukai pendapat
yang mengeraskan basmalah. Tetapi para pengikutnya memilih untuk men-sirr-kan
basmalah bila dibaca di kota Madinah. Karena Penduduk Madinah menentang orang
yang mengeraskan Basmalah. Segera setelah itu, Ibn Taimiyah berkata, “Sebaiknya
orang meninggalkan pendapat yang disukainya untuk memelihara persaudaraan
diantara manusia. kemaslahatan yang terjadi karena pertalian hati dalam agama
lebih besar ketimbang kemaslahatan karena mengamalkan paham fikih seperti ini.
5. Umumnya dalam mazhab Maliki di-Makruh-kan membaca “basmalah” pada surat Al-Fatihah baik keras
maupun pelan ketika shalat. Diceritakan bahwa Imam Al-Mazari, salah seorang ulama
besar bermazhab Maliki, membaca basmalah pada surat Al-Fatihah ketika mengimami
masyarakat yang bermazhab Syafi’i. Ketika orang mempertanyakan amalnya ini,
beliau menjawab dengan bijak, “Menurut mazhab Maliki orang yang membaca
basmalah tidak membatalkan shalat. Menurut mazhab Syafi’i orang yang tidak
membaca basmalah batal shalatnya. Cara shalat yang disepakati lebih baik dari
cara shalat yang oleh sebagian orang dianggap batal”. Imam Al-Mazari sangat menghormati keyakinan
dan pendapat para pengikut mazhab Syafi’i, sehingga beliau memakai basmalah
ketika membaca Al-Fatihah.
6. khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz berkeinginan mempersatukan semua negeri di bawah
pemerintahannya dalam satu mazhab fikih. Tetapi beliau segera sadar bahwa pada
setiap negeri telah berlangsung fikih yang berbeda-beda. Mereka mewarisinya
dari sahabat terdahulu. Para Sahabat Nabi Saw yang datang dari Syam membawa
fatwa fikih yang berbeda dengan mereka yang datang dari Mesir dan Kufah; dan
berbeda pula dengan yang tinggal di Mekkah dan Madinah. Akhirnya, Umar bin
Abdul ‘Aziz membiarkan setiap negeri mengikuti ulama di negeri mereka
masing-masing (Lihat kitab Tarikh Abu Zar’ah Al-Dimasyqi, 1: 202).
7. Keinginan yang sama pernah terlintas dalam benak khalifah
Abu Ja’far Al-Manshur, seorang khalifah bani Abbasiyah. Imam Malik adalah ulama fikih yang terkemuka pada
zaman itu. Kitabnya, Al-Muwaththa’, menjadi rujukan banyak ulama di berbagai
negeri. Suatu ketika Khalifah Al-Manshur bertemu dengan Imam Malik. Khalifah
Al-Manshur berkata, “Aku bermaksud menurunkan perintah agar kitab yang anda
tulis ini (kitab Al-Muwaththa’) digandakan menjadi banyak naskah. Lalu, setiap
naskah akan aku kirimkan ke setiap negeri. Aku akan perintahkan setiap hakim
(berikut ulama dan umara’) di negeri tersebut mengamalkan menurut kitab anda.
Fa man khalafa dharabtu ‘unuqah (Barang siapa yang menentang akan aku penggal
lehernya).
Imam Malik
kemudian berkata kepada Khalifah Al-Manshur, “Ya Amirul Mukminin, jangan
lakukan hal seperti itu. Bagi setiap kaum telah berlaku berbagai pendapat,
mereka telah mendengar hadis-hadis, mereka telah menyampaikan riwayat-riwayat.
Setiap kaum telah mengambil fatwa dari para pendahulunya dan sudah beramal
berdasarkan itu. Jika anda mengubahnya dari apa yang mereka ketahui kepada sesuatu
yang tidak mereka ketahui, mereka akan menganggapnya sebagai kekafiran. Biarlah
setiap negeri berpegang kepada ilmu yang ada pada mereka. Jika anda ingin
mengambil ilmu tersebut ambilah untuk dirimu saja. Para Sahabat Rasulullah Saw
telah berikhtilaf pada hal-hal yang furu’ dan tersebar diberbagai penjuru.
Semuanya benar. Al-Manshur berkata, Jika anda menyetujuinya, sungguh aku akan
memerintahkannya”. (Lihat dalam kitab Thabaqat Ibn Sa’ad, hal. 440; dan
Taqdimah Al-Jarh wa Al-Ta’dil, 29).
RENUNGAN BUAT KITA SEMUA :
1. Ali bi Abi
Thalib mengatakan : Jika pemahaman seseorang tinggi,
maka ia akan rendah hati Jika pemahaman seseorang
rendah, maka ia akan tinggi hati” (Imam Ali Bin Abi Thalib)
2. Tinggalkan khilafiyah, jika khilafiyah itu bisa merusak ukhuwah. Ibnu Mas`ud meninggalkan
pendapat fikih-nya demi memilihara akhlak yang mulia. Fikih ditinggalkan demi
menghindari pertengkaran
3. Ketika Imam Hambali ditanya tentang suatu masalah fikih, ia berkata, “Aku ahli hadis.
Tanyalah Sofyan al-Tsawri ia lebih mengerti fikih ketimbang aku”. Imam
Al-Tsawri berkata kepada salah seorang muridnya, “Jika kamu melihat seseorang
mengamalkan sesuatu yang di-ikhtilaf-kan dan kamu punya pendapat yang lain,
janganlah kamu melarang dia melakukannya” (Al-Khathib, Tarikh Baghdad, 13: 353;
Al-Intifa’, 140 ).
4. Imam Ja’far berkata Demi Allah, tidak ada ibadah yang lebih disukai oleh Allah
seperti “Al-Khiba”. Muridnya bertanya, “Apakah Al-Khiba itu?”. Imam Ja’far
menjawab: “Taqiyyah”. (Al-Wasa’il, Kitab Al-Amr bi Al-Ma’ruf, Bab 26). Al-Khiba
atau Taqiyyah adalah menjalankan fikih yang diamalkan oleh orang kebanyakan,
yang umum pada kampung tertentu, atau fikih yang telah ditetepkan oleh umara’
(penguasa) untuk menghindari pertikaian maupun perpecahan. Taqiyyah berarti
tidak menonjolkan fikih kita demi memelihara persaudaraan di kalangan kaum
muslimin.
5. Fatwa Ibnu Taimiyah Abdul Jalil Isa dalam kitab Mâ La Yajûzu Fihi Al-Khilâf Bayn
Al-Muslimîn, mengutip fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, antara lain “Adapun
orang yang memperbesar masalah ini (masalah khilafiyah) hingga menjadi
pertentangan dan perpecahan. Terjadilah mencintai orang yang sesuai dengan
pendapatnya dan membenci orang-orang yang berbeda pendapat dengannya. Perbuatan
ini menyerupai perbuatan penduduk negera-negara timur (Ahli Kitab), maka mereka
termasuk dalam Firman Allah Ta’ala,
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini agama kalian semua,
agama yang satu. Dan Aku adalah Tuhan-mu maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian
mereka (Para pengikut rasul itu) yang telah menjadikan agama mereka
berpecah-belah, tiap-tiap golongan merasa bangga dengan golongan mereka
(masing-masing)” (QS. Al-Mu’minun: 53)”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar