Dari sisi al-hukmu
‘alal hadits, hadits ini dikatakan palsu oleh sebagian orang dan tidak palsu
olehsebagian lainnya. Lalu bagaimana hal itu bisa terjadi? Dan apakah
dimungkinkan adanya perbedaan pandangan dalam menilai suatu hadits? Bukankah
standar ukuran keshahihan suatu hadits itu adalah sesuatu yang pasti?
Perbedaan Dalam Menilai Keshahihan Hadits Adalah Sebuah Kemestian Bukan hanya
para ulama fiqih saja yang ‘rajin’ berbeda pendapat, namun para pakar hadits,
dari yang paling rendah sampai ke level yang tertinggi, juga berhak untuk
berbeda pendapat. Bahkan jurang pemisah perbedan pendapat di antara mereka
seringkali sangat besar dan menganga. Bayangkah, ada suatu hadits yang divonis
palsu oleh seorang pakar hadits, namun oleh pakar hadits yang lain dinilai
shahih.
HADITS TENTANG SHALAT TASBIH
Dari Al-Abbas bin Abdilmuttalib
rabahwa Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Hai pamanku, Al-Abbas, maukah Paman
saya beri sesuatu? Maukahsaya beri suatu anugerahi? Maukah saya beri suatu
hadiah? Maukah saya berbuat sesuatu? Ada 10 hal yang bila Paman lakukan maka
Allah mengampuni dosa-dosa, baik yang dulu maupun yang sekarang, yang lama
maupun yang baru, yang disengaja maupun yang tidak disengaja, yang kecil maupun
yang besar, yang sembunyi maupun yang terang-terangan?
Sepuluh hal itu
adalah shalat empat rakaat, setiap rakaat membaca Al-Fatihah dan sebuah surah,
bila telah selesai pada rakaat pertama dan masih berdiri, bacalah tasbih
“Subhanallah walhambulillah wala ilaaha illallah wallahu akbar”, sebanyak 15
kali. Kemudian ruku’lah dan bacalah tasbih tadi 10 kali, kemudian i’tidal dan
bacalah tasbih tadi 10 kali, kemudian sujud dan bacalah tasbih tadi 10 kali,
kemudian angkat kepala dari sujud dan bacalah tasbih tadi 10 kali, kemudian
sujud lagi dan bacalah tasbih tadi 10 kali, kemudian angkat kepada dan bacalah
tasbih tadi 10 kali. Maka bacaan tasbih itu ada 75 untuk tiap rakaat. Paman
kerjakan 4 rakaat. Apabila paman mampu
maka kerjakan shalat itu sekail dalam sehari, bila tidak mampu kerjakanlah
setiap Jumat, bila tidak mampu maka kerjakan tiap bulan, bila tidak mampu maka
kerjakan setahun sekali dan bila tidak mampu juga maka kerjakan sekali dalam
umur hidup.” (HR Abu Daud dan Tirmizy)
Al-Hukmu ‘Alal Hadits
1. Pendapat Yang Mengatakan Palsu
Di antara para ulama yang mengatakan bahwa hadits tentang shalat tasbih
adalah hadits palsu antara lain Al-Imam Ibnu Al-Jauzi, seorang ahli hadits yang
hidup di abad ke-6 hijriyah (wafat tahun 597 H). Beliau punya sebuah kitab
khusus yang berisi hadits palsu semuanya. Dari namanya saja, kita sudah tahu
bahwa isinya memang hadits palsu. Judul kitabnya adalah Al-Maudhu’at. Dan
hadits tentang shalat tasbih ternyata ada di dalam salah satu isinya.
Paling tidak ada 3 jalur periwayatan hadits ini yang dituduhkan bermasalah, menurut Ibnul Jauzi.
1. Masalah di Jalur Pertama Karena ada perawi yang mungkarul hadits bernama
Shadaqah bin Yazid Al-Khurasani. Atau mu’dhal karena sanadnya terputus dua
orang, seperti yang dikatakan oleh Ibnu HIbban.
2. Masalah di Jalur Kedua. Karena ada perawi yang majhul atau tidak
diketahui identitasnya, yaitu Musa bin Abdil Aziz.
3. Masalah di Jalur Ketiga KArena ada perawi yang dinilai tidak halal untuk
meriwayatkan hadits yang bernama Musa bin Ubaidah. Yang menilai begitu di
antaranya Imam Ahmad bin Hanbal.
Selain itu ada Al-Imam Asy-Syaukani (wafat tahun 1250 hijriyah), beliau
termasuk yang mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits palsu. Kita bisa baca
keterangan beliau dalam kedua kitabnya, Al-Fawaid Al-Majmu’ah Fil Ahaditisl
Maudhu’ah, dan kitab Tuhfatudz-dzakirin.
2. Pendapat Yang Mengatakan Shahih
Namun tuduhan di atas dijawab oleh para pakar hadits yang lain. Apa yang
dikatakan sebagai hadits palsu oleh Ibnul Jauzi ternyata hanya riwayat yang
melalui satu pangkal jalur yaitu Ad-Daruquthuny. Padahal selain jalur itu,
masih banyak jalur lainnya yang tidak ikut dibahas oleh beliau.
Maka para pakar hadits selain beliau ramai-ramai mengkritisi balik apa yang
telah disimpulkan oleh Ibnul Jauzi secara terburu-buru itu. Bahkan beliau juga
dituduh orang yang terlalu mudah menjatuhkan vonis kepalsuan atas suatu hadits
(tasahhul).
1. Tuduhan bahwa Shadaqah bin
Yazid Al-Khurasani sebagai mungkarul- hadis memang benar, namun
ternyata salah alamat. Sebab yang meriwayatkan hadits ini ternyata orang lain
yang namanya nyaris mirip, yaitu Shadaqah bin Abdullah Ad-Dimasyqi. Meski ada
yang menilainya lemah (dhaih) namun dia bukan mungkarul hadits, sehingga tidak
bisa dinilai sebagai hadits palsu. Sebab beberapa pengkritik hadits mengatakan
bahwa dia shahih. Kalau Ma’qil bin Yazid Al-Kuhrasani memang mungkarul hadits,
tetapi dia bukanlah orang yang meriwayatkan hadits ini.
2.Tuduhan bahwa Musa bin Abdul
Aziz adalah orang yang majhul, menurut Az-Zarkasyi tidak otomatis
menjadikan hadits itu palsu. Boleh jadi Ibnul Jauzi memang tidak mengetahui
identitas orang itu. Padahal banyak ulama lain seperti Bisyr bin Hakam,
Abdurrahman bin Bisyr, Ishaq bin Abu Israil, Zaid bin Al-Mubarak, yang
mengenalnya sebagai orang tidak ada masalah Masalah (laa ba’sa bihi). Imam Ibnu
Hibban juga mengatakan bahwa Musa bin Abdul Aziz sebagai orang yang tsiqah
(kredibel). Bahkan AL-Imam Al-Buhkari meriwayatkan hadits dari beliau juga
dalam kitab Adabul Mufrad.
Jadi bukan lah Musa bin Abdil Aziz itu majhul, tetapi Ibnul Jauzi saja yang
memang tidak punya keterangan tentang perawi itu. Ketidak-tahuan dia atas orang
itu tidak bisa dijadikan vonis bahwa hadits itu palsu.
3. Tuduhan bahwa Musa bin Ubaidah
adalah orang yang tidak halal meriwayatkan hadits adalah sebatas tuduhan. Sebab
Ibnul araq Al-Kannani menegaskan bahwa Musa bin Ubaidllah bukan pendusta,
melainkan dia baru sekedar dituduh sebagai pendusta (muttaham bil kadzib). Ibnu Saad justru menilai
bahwa dia adalah perawi yang tsiqah (kredibel), bukan dhaif.
Selain kedua imam di
atas, ternyata hadits tentang shalat tasbih ini malah dikatakan sebagai hadits
shahih, bukan hadits palsu. Yang menarik, justru yang mengatakan shahih bukan
sembarang orang, sehingga sanggahan mereka atas tuduhan kepalsuan hadits sangat
berarti.
Di antara mereka yang mengatakan bahwa hadits itu shahih adalah:
Al-Imam Bukhari rahimahulah. Siapa yang tidak kenal beliau? Beliau adalah penulis kitab tershahih
kedua setelah Al-Quran Al-Kariem. Namun hadits ini memang tidak terdapat di
dalam kitab shahihnya itu, melainkan beliau tulis dalam kitab yang lain. Kitab
itu adalah Qiraatul Ma’mum Khalfal Imam. Di sana beliau menyatakan bahwa hadits
tentang shalat tasbih di atas adalah hadits yang shahih.
Al-’Allamah Syeikh Nasiruddin
Al-Albani Beliau adalah pakar hadits dari negeri Suriah yang amat tersohor di
seantero jagad. Beliau pun juga termasuk yang mengatakan bahwa hadits tentang
shalat tasbih ini shahih. Kita akan
mendapatkan hadits ini dalam kitab karangan beliau, Shahih Sunan Abu Daud.
Sebuah kitab hasil kritisi dan analisa beliau terhadap kitab susunan Abu Daud
khususnya yang bersatatus shahih saja.
3.
Kalangan Yang Berpendapat Ganda Atau Tawaqquf
Misalnya Al-Imam An-Nawawi punya dua penilaian yang
berbeda atas hadits yang sama. Demikian juga dengan AL-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqallani,
ahli hadits yang telah membuat syarah dari kitab Shahih A-Bukhari. Sedangkan yangtawaqquf atau tidak
memberikan komentar (abstein) antara lainAl-Imam Az-Dzahabi, sebagaimana yang
kita baca dari kitab Tuhfatul Ahwadzi fi syarh jami’ At-Tirmizy jilid 2 halaman
488.
Kesimpulan.
Dalam dunia ilmu hadits, perbedaan pendapat dalam menilai
kedudukan suatu riwayat memng sangat besar kemungkinannya. Ada yang telah
divonis shahih atau dhaif oleh seorang ulama, belum tentu disepakati oleh ulama
lainnya. Sebaiknya kita lebih banyak mengkaji dan membaca literatur, khususnya
dalam masalah hadits ini, karena dunia ilmu hadits sangat luas dan beragam.
Tidak lupa pula kita harus lebih banyak bertanya kepada para ulama yang ahli
agar kita tidak terlalu mudah mengeluarkan statemen yang nantinya akan kita
sesali sendiri..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar