Dalam berita ANTARA beberapa waktu lalu, Nasir Abbas, mantan Komandan Jaringan Jamaah Islamiyah, mengemukakan bahwa benih-benih terorisme di Indonesia selama ini antara lain karena adanya ideologi yang keliru dalam memaknai jihad dan menghalalkan cara untuk membunuh orang lain dengan alasan tertentu.
"Ideologi ini tidak ada diajarkan dalam pesantren, tetapi dilakukan oleh orang yang juga lulusan pesantren dan siapa saja yang menjadi korban atau pengaruh ideologi yang keliru ini," kata Nasir di sela-sela Diskusi Kerja yang bertemakan"Mencegah Terorisme dengan Membangun Kepedulian dan Rasa Kemanusiaan".
Oleh karena itu, semua pihak, harus mewaspadai terhadap ideologi ini.
"Apakah mereka yang di pesantren atau bukan, bisa jadi korban," katanya.
Sosiolog Imam B. Prasodjo dalam forum yang sama menilai, salah satu cara untuk melakukan pencegahan sejak dini adalah meningkatkan kepedulian setiap warga negara akan korban yang ditimbulkan oleh tindakan terorisme itu sendiri.
"Upaya mengingat kepada para korban yang masih hidup dan keluarganya ini juga penting , termasuk juga kepada keluarga pelaku yang ditinggalkan oleh pelakunya (yang sudah dieksekusi oleh aparat hukum, red). Silaturahmi di antara mereka ini bisa menyadarkan bahwa tindakan terorisme itu apa pun alasannya tidak dibenarkan oleh agama apa pun," katanya.
"Ideologi ini tidak ada diajarkan dalam pesantren, tetapi dilakukan oleh orang yang juga lulusan pesantren dan siapa saja yang menjadi korban atau pengaruh ideologi yang keliru ini," kata Nasir di sela-sela Diskusi Kerja yang bertemakan"Mencegah Terorisme dengan Membangun Kepedulian dan Rasa Kemanusiaan".
Oleh karena itu, semua pihak, harus mewaspadai terhadap ideologi ini.
"Apakah mereka yang di pesantren atau bukan, bisa jadi korban," katanya.
Sosiolog Imam B. Prasodjo dalam forum yang sama menilai, salah satu cara untuk melakukan pencegahan sejak dini adalah meningkatkan kepedulian setiap warga negara akan korban yang ditimbulkan oleh tindakan terorisme itu sendiri.
"Upaya mengingat kepada para korban yang masih hidup dan keluarganya ini juga penting , termasuk juga kepada keluarga pelaku yang ditinggalkan oleh pelakunya (yang sudah dieksekusi oleh aparat hukum, red). Silaturahmi di antara mereka ini bisa menyadarkan bahwa tindakan terorisme itu apa pun alasannya tidak dibenarkan oleh agama apa pun," katanya.
Di masa kita sekarang ini istilah jihad telah diselewengkan maknanya oleh sebagian kelompok. Menurut mereka aksi-aksi terorisme berupa bom bunuh diri, pembunuhan orang-orang kafir tanpa alasan yang benar, dan menimbulkan kekacauan merupakan bagian dari jihad. Sesungguhnya ini adalah kenyataan yang sangat menyedihkan.
Islam rahmatan lil ‘alamin
Ajaran Islam adalah ajaran yang mendatangkan rahmat bagi umat manusia. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia.” (QS. al-Anbiya’: 107).
Ibnu Abbas menerangkan bahwa rahmat tersebut bersifat umum mencakup orang yang baik-baik maupun orang yang jahat. Barang siapa yang beriman kepada beliau -Nabi Muhammad- maka akan sempurnalah rahmatnya di dunia sekaligus di akhirat. Adapun orang yang kufur kepadanya maka hukuman -yang sesungguhnya- akan disisihkan darinya sampai datangnya kematian dan hari kiamat (lihat Zaad al-Masir [4/365] as-Syamilah)
Di antara bukti kasih sayang Islam kepada umat manusia adalah Islam tidak membenarkan penumpahan darah manusia tanpa alasan yang benar. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu membunuh nyawa yang diharamkan Allah -untuk dibunuh- kecuali dengan sebab yang benar.” (QS. al-An’am: 151).
al-Baghawi menjelaskan bahwa di dalam ayat ini Allah mengharamkan membunuh seorang mukmin dan mu’ahad -orang kafir yang terikat perjanjian keamanan dengan umat Islam- kecuali dengan sebab yang benar yaitu sebab-sebab yang membuat orang itu boleh dibunuh seperti karena murtad, dalam rangka qishash -bunuh balas bunuh-, atau perzinaan yang mengharuskan hukuman rajam bagi pelakunya (lihat Ma’alim at-Tanzil [3/203] as-Syamilah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang membunuh seorang kafir yang terikat perjanjian -dengan kaum muslimin atau pemerintahnya- maka dia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya baunya itu akan tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari). al-Munawi menjelaskan bahwa ancaman yang disebutkan di dalam hadits ini merupakan dalil bagi para ulama semacam adz-Dzahabi dan yang lainnya untuk menegaskan bahwa perbuatan itu -membunuh orang kafir mu’ahad- termasuk perbuatan dosa besar (Faidh al-Qadir [6/251] as-Syamilah).
Demikian juga Islam tidak memperkenankan perilaku bunuh diri -meskipun dengan niat yang baik, yaitu untuk memerangi musuh- sebagaimana dalam firman-Nya (yang artinya), “Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah Maha menyayangi dirimu.” (QS. an-Nisa’: 29). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu alat maka dia akan disiksa dengannya pada hari kiamat.” (HR. Muslim). Yaitu dia bunuh diri dengan alat untuk membunuh, meminum racun dan lain sebagainya (lihat Tuhfat al-Ahwadzi [6/435] as-Syamilah)
Berbuat dosa tapi mengharap pahala
Namun anehnya, orang-orang yang melakukan pengeboman dan aksi bunuh diri itu merasa bangga dan menganggap dirinya sebagai mujahid. Sesungguhnya ini merupakan hasil tipu daya syaitan kepada mereka. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi amalnya. Yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya di dunia sementara mereka mengira telah melakukan sesuatu kebaikan dengan sebaik-baiknya.” (QS. al-Kahfi: 103-104). Ibnu Katsir mengatakan, “Sesungguhnya ayat ini berlaku umum bagi siapa saja yang beribadah kepada Allah namun tidak di atas jalan yang diridhai Allah. Dia menyangka bahwa dia berada di pihak yang benar dan amalnya akan diterima. Padahal, sebenarnya dia adalah orang yang bersalah dan amalnya tertolak.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/151-152])
Mereka mencomot sebagian ayat dan memahaminya tidak sebagaimana mestinya. Mereka mengambil dalil yang samar (mutasyabih) dan meninggalkan dalil-dalil lain yang jelas dan tegas (muhkam). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dialah -Allah- yang telah menurunkan kepadamu Kitab suci itu, di antaranya ada ayat-ayat yang muhkam yaitu Ummul Kitab sedangkan yang lain adalah ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya menyimpan penyimpangan/zaigh maka mereka akan mengikuti ayat yang mutasyabih itu demi menimbulkan fitnah dan ingin menyimpangkan maknanya…” (QS. Ali Imran: 7)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kamu melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mustasyabihat maka mereka itulah orang-orang yang disebut oleh Allah -di dalam ayat tadi- maka waspadalah kamu dari bahaya mereka.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dll). Penulis syarah Sunan Abu Dawud berkata, “Ayat ini -Ali Imran ayat 7- berlaku umum bagi semua kelompok yang melenceng dari kebenaran yaitu dari kalangan kelompok-kelompok bid’ah….” (Aun al-Ma’bud [10/117]
Jihad yang sebenarnya
Allah ta’ala berfirman, “Orang-orang yang sungguh-sungguh berjuang/berjihad di jalan Kami niscaya Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat baik/ihsan.” (QS. al-’Ankabut: 69). al-Baghawi menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata tentang tafsiran ayat ini, “Yaitu orang-orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh di dalam ketaatan kepada Kami niscaya Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan untuk meraih pahala dari Kami.” (Ma’alim at-Tanzil [6/256] as-Syamilah)
Sesungguhnya seorang mujahid sejati adalah orang yang menundukkan hawa nafsunya untuk melakukan ketaatan kepada Allah -termasuk di dalamnya adalah dengan memerangi orang kafir dengan cara yang benar-, bukan dengan melakukan perbuatan dosa dan pelanggaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang berjihad adalah orang yang berjuang menundukkan dirinya dalam ketaatan kepada Allah.” (HR. Ahmad, as-Shahihah [549]. Maka jelaslah bahwa terorisme bukan jihad. Terorisme sama artinya dengan menimbulkan kekacauan dan kerusakan di muka bumi. Sementara Allah tidak menyukainya. Allah berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang menebarkan kerusakan.” (QS. al-Qashash: 77)
Reaksi yang keliru
Sebagian orang yang telah termakan oleh pemberitaan media massa yang tidak tepat menganggap bahwa lelaki yang berjenggot dan perempuan yang mengenakan cadar adalah bagian dari jaringan teroris. Padahal, anggapan semacam itu adalah anggapan yang kekanak-kanakan.
Semata-mata memiliki jenggot atau mengenakan cadar jelas tidak ada hubungannya dengan terorisme. Tidakkah kita ingat bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum lelaki untuk memelihara jenggot?, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari. Tidakkah kita juga ingat bahwa para isteri Nabi pun mengenakan cadar? Apakah dengan penampilan seperti itu kemudian kita mengatakan bahwa Nabi dan isteri-isterinya terlibat dalam jaringan teroris?! Tentu saja anggapan yang demikian itu tadi adalah sesuatu yang terlalu berlebihan, bahkan mengada-ada.
Sesungguhnya kemuliaan Islam ini akan ternoda tatkala orang yang bukan ahlinya berbicara tentang ajaran agama. Tidakkah kita ingat firman Allah ta’ala (yang artinya), “Janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, itu semua pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. al-Isra’: 36). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah angkat bicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?”. Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR. Ibnu Majah, Shahihah [1887] as-Syamilah).
Tetaplah menimba ilmu dan mencari kebenaran
Dengan menyaksikan realita yang memilukan ini maka sudah semestinya kaum muslimin semakin meningkatkan semangat mereka untuk mengkaji ilmu agama dan berupaya untuk mengamalkannya. Sebab dengan cara itulah jalan ke surga akan menjadi mudah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang dikehendaki menjadi baik oleh Allah maka akan dipahamkan dalam urusan agamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Beliau juga mengatakan, “Barang siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu -agama- maka Allah akan mudahkan baginya jalan ke surga.” (HR. Muslim). Untuk bisa membedakan apakah suatu bentuk pemahaman benar atau tidak maka ilmu agama sangat diperlukan. Siapa saja membutuhkannya, entah itu polisi, pejabat Negara, pedagang, guru, karyawan, maupun mahasiswa, tidak terkecuali para ustadz, da’i dan kyai.
Dengan mengkaji al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman yang benar itulah kita akan mendapatkan jawaban atas permasalahan yang kita hadapi dan terbebas dari kesesatan berpikir. Sebaliknya, orang yang meninggalkannya akan binasa. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barang siapa yang terus mengikuti petunjuk-Ku maka tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Tapi barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku maka dia akan mendapatkan penghidupan yang sempit dan kelak Kami akan menghimpunnya dalam keadaan buta. Orang itu berkata, ‘Wahai Rabbku mengapa Engkau himpunkan aku dalam keadaan buta, padahal dulu aku melihat?’. Maka Allah jawab, ‘Demikian itulah balasan yang layak kamu terima. Telah datang kepadamu ayat-ayat Kami namun kamu sengaja melupakannya, maka demikian pula pada hari ini kamu dilupakan.’.” (QS. Thaha: 123-126)
Allah akan memuliakan orang yang mempelajari al-Qur’an dan as-Sunnah serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-harinya dengan pemahaman yang benar.
Semoga tulisan yang ringkas ini bermanfaat bagi penulis maupun pembacanya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar