Islam
menetapkan bahwa persoalan seks dibatasi hanya dalam kehidupan suami-istri.
Persoalan seks tidak boleh diumbar di ranah umum. Dalam kehidupan suami istri
itu, Islam juga mengajarkan adab-adab dalam hubungan suami-istri. Misal,
mengajarkan agar perihal hubungan suami-istri itu disimpan di antara mereka
berdua saja. Islam mengharamkan siapapun menceritakan perihal hubungan tersebut
kepada orang lain. Nabi saw. telah bersabda: “Sesungguhnya manusia yang paling
jelek kedudukannya di sisi Allah pada Hari Kiamat ialah seseorang yang
menyetubuhi istrinya dan istri bersetubuh dengan suaminya, kemudian suami
menyebarkan rahasia istrinya” (HR Muslim dari Abi Said al-Khudri).
Berdasarkan
nas di atas, maka keharaman hukum menceritakan tersebut termasuk keharaman
merekam adegan ranjang untuk disebarkan, agar bisa ditonton orang lain. Dengan
keras Nabi saw. menggambarkan mereka seperti setan: “Tahukah apa permisalan
seperti itu?” Kemudian beliau berkata, “Sesungguhnya permisalan hal tersebut
adalah seperti setan wanita yang bertemu dengan setan laki-laki di sebuah gang,
kemudian setan laki-laki tersebut menunaikan hajatnya (bersetubuh) dengan setan
perempuan, sementara orang-orang melihat kepadanya.” (HR Abu
Dawud).
Memberitakan
dan memperbincangkan peristiwa seperti ini juga diharamkan, karena termasuk
menyebarkan perbuatan maksiat. Nabi SAW dengan tegas menyatakan: “Setiap umatku
dimaafkan (dosanya) kecuali orang-orang menampak-nampakkannya dan sesungguhnya
di antara bentuk menampak-nampakkan (dosa) adalah seorang hamba yang
melakukan perbuatan pada waktu malam, sementara Allah telah menutupinya,
kemudian pada waktu pagi dia berkata, “Wahai fulan, semalam aku telah melakukan
ini dan itu.” Padahal pada malam harinya (dosanya) telah ditutupi oleh
Rabb-nya. Ia pun bermalam dalam keadaan (dosanya) telah ditutupi oleh Rabb-nya
dan di pagi harinya ia menyingkap apa yang telah ditutupi oleh Allah” (Muttafaq
‘alayh).
Semua
itu, berdasarkan nas-nas yang ada, jelas haram. Siapapun yang melakukannya atau
yang menyebarkannya seperti penyedia situs, yang menggandakan CD, dsb, dalam
pandangan syariah berarti telah melakukan tindakan pidana. Kasus semacam itu
dalam sistem pidana Islam termasuk dalam bab ta’zîr. Jika terbukti maka
bentuk dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad qadhi; bisa dalam
bentuk tasyhir (diekspos), di penjara, dicambuk dan bentuk sanksi
lain yang dibenarkan oleh syariah. Jika semua itu disebarkan secara luas
sehingga bisa menimbulkan bahaya bagi masyarakat, tentu bentuk dan kadar
sanksinya bisa diperberat sesuai dengan kadar bahaya yang ditimbulkan bagi
masyarakat itu.
Apalagi
jika adegan ranjang itu dilakukan tanpa ikatan perkawinan, yaitu merupakan
perzinaan; seperti terjadi atas ketiga artis yang diduga itu seandainya
terbukti benar. Rekaman itu akan bisa dijadikan indikasi kuat untuk mendorong
pengakuan si pelaku. Jika ia mengakuinya maka terhadap mereka harus
diterapkan had zina, yaitu jika telah menikah harus dirajam hingga
mati dan jika belum pernah menikah maka harus dicambuk seratus kali.
Pelaksanaan hukuman itu harus dilakukan secara terbuka disaksikan oleh khalayak
ramai.
Di sisi
lain, pemerintah yang diamanahi mengurus segala urusan rakyat, selain
menjalankan hukuman di atas, juga harus bertindak untuk memutus rantai
kerusakan itu agar tidak terus bergulir; baik dengan memblokir situsnya,
melakukan tindakan razia, dll. Semua tindakan hukum itu merupakan palang pintu
untuk menghalangi terus menjalarnya kerusakan dan semacamnya itu.
Wallohu
a’lam