Dalam kitab Qurrah al-’Ain bi Fatawi Isma’il Zain al-Yamani halaman 175 cetakan
Maktabah al-Barakah dan kitab al-Hawi lil Fatawi karya al-Hafizh Jalaluddin
as-Suyuthi juz 2 halaman 179 cetakan Darul Kutub, Bairut.
Syaikh Isma’il Zain al-Yamani menulis sebagai
berikut (kami kutib secara garis besar):
Dalam Sunan Abu Dawud hadits nomer 2894
dituliskan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
الْعَلاَءِ أَخْبَرَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ أَخْبَرَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ اْلأَنْصَارِ قَالَخَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ
قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ
دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ
الْقَوْمُ فَأَكَلُوا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ثُمَّ قَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ
بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ
إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِي شَاةً فَلَمْ أَجِدْ
فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدْ اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا
بِثَمَنِهَا فَلَمْ يُوجَدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ
بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَطْعِمِيهِ
اْلأُسَارَى
“Muhammad bin al-‘Ala’ menceritakan dari
(Abdullah) bin Idris dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya (Kulaib) dari
seorang
laki-laki Anshar (shahabat), berkata: ‘Aku keluar bersama Rasulallah
berta’ziyah ke salah satu jenazah. Selanjutnya aku melihat Rasulallah di atas
kubur berpesan kepada penggali kubur (dengan berkata): ‘Lebarkanlah bagian arah
kedua kaki dan lebarkan pula bagian arah kepala!’ Setelah Rasulallah hendak
kembali pulang, tiba-tiba seseorang yang menjadi pesuruh wanita (istri mayit)
menemui beliau, mengundangnya (untuk datang ke rumah wanita tersebut). Lalu
Rasulallah pun datang dan diberi hidangan suguhan makanan. Kemudian Rasulallah
pun mengambil makanan tersebut yang juga diikuti oleh para shahabat lain dan
memakannya. Ayah-ayah kami melihat Rasulallah mengunyah sesuap makanan di mulut
beliau, kemudian Rasulallah berkata: ’Aku merasa menemukan daging kambing yang
diambil dengan tanpa izin pemiliknya?!’ Kemudian wanita itu berkata: ’Wahai
Rasulallah, sesungguhnya aku telah menyuruh untuk membeli kambing di Baqi,[1]
tapi tidak menemukannya, kemudian aku mengutus untuk membeli dari tetangga
laki-laki kami dengan uang seharga (kambing tersebut) untuk dikirimkan kepada
saya, tapi dia tidak ada dan kemudian saya mengutus untuk membeli dari istrinya
dengan uang seharga kambing tersebut lalu oleh dia dikirimkan kepada saya.’
Rasulallah kemudian menjawab: ’Berikanlah makanan ini kepada para tawanan!’”
Hadits Abu Dawud tersebut juga tercatat dalam
Misykah al-Mashabih karya Mulla Ali al-Qari bab mukjizat halaman 544 dan
tercatat juga dalam as-Sunan al-Kubra serta Dala’il an-Nubuwwah, keduanya karya
al-Baihaqi.
Komentar Syaikh Ismail tentang status sanad
hadits di atas, beliau berkata bahwa dalam Sunan Abu Dawud tersebut, Imam Abu
Dawud diam tidak memberi komentar mengenai statusnya, yang artinya secara
kaidah (yang dianut oleh ulama termasuk an-Nawawi dalam mukaddimah al-Adzkar)
bahwa hadits tersebut boleh dibuat hujjah, artinya status haditsnya berkisar
antara hasan dan shahih. Al-Hafizh al-Mundziri juga diam tidak berkomentar,
yang artinya bahwa hadits tersebut juga boleh dibuat hujjah.
Perawi yang bernama Muhammad bin al-‘Ala’ adalah
guru Imam al-Bukhari, Muslim dan lain-lain dan jelas termasuk perawi shahih.
Abdullah bin Idris dikomentari oleh Ibnu Ma’in sebagai perawi tsiqah dan di
katakan oleh Imam Ahmad sebagai orang yang tidak ada duanya (nasiju wahdih).
Sementara ‘Ashim, banyak yang komentar dia adalah perawi tsiqah dan terpercaya,
haditsnya tidak mengapa diterima, orang shalih dan orang mulia penduduk Kufah.
Sedangkan laki-laki penduduk Madinah yang di maksud adalah shahabat Nabi yang
semuanya adalah adil tanpa ada curiga sama sekali. Dari keterangan ini, dapat
diambil kesimpulan bahwa hadits di atas adalah hadits hasan yang bisa dibuat
hujjah.
Sedangkan dari sisi isinya, hadits tersebut
mengandung beberapa faidah dan hukum penting, di antaranya:
1. Menunjukkan mukjizat Rasulallah yang dapat
mengetahui haram tidaknya sesuatu tanpa ada seseorang yang memberi tahu. Oleh
karena itu, al-Baihaqi dalam Dala’il an-Nubuwwah menyebutkan hadits ini dalam
bab Mukjizat.
2. Jual belinya seseorang yang bukan pemilik atau
wakil (bai’ fudhuli) adalah tidak sah dan bathil. Oleh karennya, Abu Dawud
menyebutkan hadits ini dalam Sunan-nya di bagian bab Jual Beli.
3. Akad yang mengandung syubhat seyogianya dihindari
agar tidak jatuh pada limbah keharaman.
4. Diperbolehkannya bagi keluarga mayit membuat
hidangan atau walimah dan mengundang orang lain untuk hadir memakannya. Bahkan,
jika difahami dari hadits tersebut, melakukan walimah tersebut adalah termasuk
qurbah (ibadah). Sebab, adakalanya memberi makan bertujuan mengharapkan pahala
untuk si mayit -termasuk utama-utamanya qurbah- serta sudah menjadi kesepakatan
bahwa pahalanya bisa sampai kepada mayit. Mungkin pula bertujuan menghormati
tamu dan niat menghibur keluarga yang sedang mendapat musibah agar tidak lagi
larut dalam kesedihan. Baik jamuan tersebut dilakukan saat hari kematian,
seperti yang dilakukan oleh istri mayit dalam hadits di atas, atau dilakukan di
hari-hari berikutnya. (Mungkin maksud Syaikh Ismail adalah hari ke-7, 40, 100
dan 1000).
Hadits di atas juga di nilai tidak bertentangan
dengan hadits masyhur berikut:
إِصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرَ
طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُنَّ مَا يُشْغِلُهُنَّ أَوْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ
“Buatlah makanan untuk keluarga Ja‘far, karena
anggota keluarga yang wanita sedang sibuk atau anggota keluarga laki-laki
sedang sibuk.”
Menurut Syaikh Isma‘il, hadits tersebut
(keluarga Ja'far) ada kemungkinan (ihtimal) khusus untuk keluarga Ja‘far,
karena Rasulallah melihat keluarga Ja‘far tersebut sedang dirundung duka
sehingga anggota keluarganya tidak sempat lagi membuat makanan. Kemudian
Rasulallah menyuruh anggota keluarga beliau untuk membuatkan makanan bagi
keluarga Ja‘far. Selain itu juga, tidak ada hadits yangsharih (jelas) yang
menjelaskan bahwa Rasulallah melarang bagi keluarga mayit membuat hidangan atau
walimahan untuk pentakziyah.
Pernyataan ini dikuatkan dengan riwayat dalam
Shahih al-Bukhari dari Aisyah:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ
الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ
إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ
ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِينَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ
مِنْهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
التَّلْبِينَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيضِ تَذْهَبُ بِبَعْضِ الْحُزْنِ
“Dari Aisyah, istri Rasulallah, ketika salah
satu keluarganya ada yang meninggal, para wanita-wanita berkumpul dan kemudian
pergi kecuali anggota keluarganya dan orang-orang tertentu. Kemudian beliau
memerintahkan untuk membawakannya periuk berisi sup yang terbuat dari tepung
yang dicampuri dengan madu kemudian dimasak. Kemudian dibuatlah bubur sarid dan
sup tadi dimasukkan ke dalam bubur tersebut. Lalu beliau berkata: ‘Makanlah
makanan ini karena aku mendengar dari Rasulallah bersabda bahwa bahwa sup dapat
melegakan hati orang yang sedang sakit; menghilangkan sebagian kesusahan.”
Orang yang mengerti kaidah syari’at berpandangan
bahwa walimah yang dibuat oleh keluarga mayit adalah tidak dilarang selama
mereka membuat walimah tersebut karena taqarrub kepada Allah, menghibur
keluarga yang sedang mendapat musibah dan menghormat para tamu yang datang untuk
bertakziyah. Tentunya, semua itu jika harta yang digunakan untuk walimah
tersebut tidak milik anak yatim, yakni jika salah satu keluarga yang
ditinggalkan mayit ada anak yang masih kecil (belum baligh).
Adapun menanggapi perkataan (hadits) al-Jarir
bin Abdillah yang mengatakan bahwa berkumpul dengan keluarga mayit dan
membuatkan hidangan untuk mereka adalah termasuk niyahah (meratapi mayit) yang
diharamkan, Syaikh Isma‘il memberi jawaban: “Maksud dari ucapan Jarir tersebut
adalah mereka berkumpul dengan memperlihatkan kesedihan dan meratap. Hal itu
terbukti dari redaksi ucapan Jarir yang menggunakan kata niyahah. Hal itu
menunjukkan bahwa keharaman tersebut dipandang dari sisi niyahah dan bukan dari
berkumpulnya. Sedangkan apabila tidak ada niyahah tentu hal tersebut tidak di
haramkan.”
Sedangakan menjawab komentar ulama-ulama yang
sering digunakan untuk mencela budaya di atas[2] (tentang hukum sunah bagi
tetangga keluarga mayit membuat atau menyiapkan makanan bagi keluarga mayit
sehari semalam) yang dimaksudkan adalah obyek hukum sunah tersebut adalah bagi
keluarga mayit yang sedang kesusahan seperti yang dialami keluarga Ja‘far. Oleh
karena itu, tidak ada dalil tentang hukum makruh membuat walimah oleh keluarga
mayit secara mutlak kecuali dari (memahami) hadits keluarga Ja‘far dan hadits
Jarir di atas. Ada kemungkinan juga ulama-ulama tersebut belum pernah melihat
hadits ‘Ashim di atas yang menerangkan tentang bolehnya membuat walimah bagi
keluarga mayit.
Al-‘Allamah Mulla Ali al-Qari mengatakan:
“Zhahir dari hadits ‘Ashim tersebut menentang apa yang diputuskan oleh para
ulama kita (ashhabuna) tentang dimakruhkannya membuat walimah di hari pertama,
ketiga atau setelah seminggu.” Adapun dalil bahwa pahala shadaqah yang
dihadiahkan kepada mayit itu sampai kepadanya adalah riwayat al-Bukhari dari
Aisyah:
أَنَّ رَجُلاً قَالَ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا
وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ
عَنْهَا قَالَ نَعَمْ
“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulallah
Saw.: ‘Ibu saya telah meninggal, dan aku berprasangka andai dia bisa berbicara
pasti dia akan bersedekah, maka apakah dia mendapat pahala jika aku bersedekah
untuknya?’ Rasulallah menjawab: ‘Benar.’”
Hadits shahih ini adalah hujjah tentang pahala
shadaqah yang sampai kepada mayit. Maka dari itu, pembaca jangan terperdaya
dengan ‘pandangan’ bahwa hadits-hadits tentang pahala shadaqah tersebut adalah dha‘if dan secara
isyarah dia melemahkan hadits shahih al-Bukhari di atas. Sungguh brutal dan
‘ngawur’ sekali! Bukan dalang tapi mendalang. Bukan ahli hadits tapi menilai
hadits. Apalagi sampai mendhaifkan hadits dalam shahih Bukhari yang mempunyai
sanad (bukan mu’allaq) dan sudah menjadi kesepakatan ulama termasuk hadits
shahih.
Fatwa as-Suyuthi:
Terdapat keterangan ulama bahwa mayit difitnah
(ditanya malaikat Munkar dan Nakir) di dalam kuburnya adalah selama 7 hari
(setelah hari penguburan) sebagaimana tersirat dalam hadits yang dibawakan oleh
beberapa ulama. Hadits yang dibuat landasan tersebut adalah:
1. Hadits riwayat Ahmad dalam az-Zuhd dari
Thawus.
2. Hadits riwayat Abu Nu’aim al-Ashbahani dari
Thawus.
3. Hadits riwayat Ibnu Juraij dalam al-Mushannaf
dari ‘Ubaid bin ‘Umair (sebagian berkomentar dia adalah pembesar tabi’in dan
sebagian yang lain mengatakan dia seorang shahabat). Al-Hafizh Ibnu Rajab
menisbatkan pada Mujahid dan ‘Ubaid bin ‘Umair.
Hadits-hadits tersebut adalah:
قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ
بْنُ حَنْبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لَهُ حَدَّثَنَا هَاشِمٌ
بْنُ اْلقَاسِمِ قَالَ ثَنَا اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوسُ
إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ
أَنْ يُطْعِمُوا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ قَالَ الْحَافِظُ أَبُو نُعَيْمٍ فِي
الْحِلْيَةِ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ بْنِ مَالِكٍ ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ
أَحْمَدَ ابْنُ حَنْبَلَ ثَنَا أُبَيُّ ثَنَا هَاشِمٌ بْنُ الْقَاسِمِ ثَنَا
اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قاَلَ طَاوُوسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ
فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ
اْلأَيَّامَ
ذِكْرُ الرِّوَايَةِ
الْمُسْنَدَةِ عَنْ عُبَيْدٍ بْنِ عُمَيْرٍ: قاَلَ ابْنُ جُرَيْجٍ فِي مَصَنَّفِهِ
عَنِ الْحَارِثِ ابْنِ أَبِي الْحَارِثِ عَنْ عُبَيْدٍ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ
يُفْتَنُ رَجُلاَنِ مُؤْمِنٌ وَمُنَافِقٌ فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا
“Imam Ahmad dalam az-Zuhd berkata: ‘Hasyim bin
Qasim bercerita kepadaku dari al-Asyja‘i dari Sufyan dari
Thawus, dia berkata:
Sesungguhnya mayit di dalam kuburnya terfitnah (ditanyai Malaikat Munkar dan
Nakir) selama 7 hari. Dan mereka menganjurkan supaya membuat (walimahan) dengan
memberi makan (orang-orang), (yang pahalanya dihadiahkan) untuk si mayit
tersebut di hari-hari tersebut.”Selanjutnya hadits riwayat berikutnya adalah
sama secara makna.
Sebelum membahas isi dari hadits ini, marilah
kita bahas terlebih dahulu diri sisi sanadnya, sehingga kita akan tahu layak
dan tidaknya hadits ini untuk dibuat hujjah.
1. Perawi-perawi hadits yang pertama adalah
shahih dan Thawus adalah termasuk pembesar tabi’in.
2. Hadits yang diriwayatkan dan tidak mungkin
dari hasil ijtihad shahabat atau tabi’in hukumnya adalah marfu’ bukan mauquf, seperti
hadits yang menerangkan tentang alam barzakh, akhirat dan lain-lain sebagaimana
yang sudah maklum dalam kaidah ushul hadits.
3. Atsar Thawus tersebut adalah termasuk hadits
marfu’ yang mursal dan sanadnya shahih serta boleh dibuat hujjah menurut Abu
Hanifah, Malik dan Ahmad secara mutlak tanpa syarat. Sedangkan menurut
asy-Syafi‘i juga boleh dibuat hujjah jika ada penguat seperti ada riwayat yang
sama atau riwayat dari shahabat yang mencocokinya. Syarat tersebut telah
terpenuhi, yaitu dengan adanya riwayat dari Mujahid dan ‘Ubaid bin ‘Umair dan
keduanya seorang tabi’in besar (sebagian mengatakan ‘Ubaid adalah shahabat
Rasulallah). Dua hadis riwayat selanjutnya adalah hadits mursal yang menguatkan
hadits mursal di atas.
4. Menurut kaidah ushul, kata-kata “mereka
menganjurkan memberi makan di hari-hari itu” adalah termasuk ucapan tabi’in.
Artinya, kata “mereka” berkisar antara shahabat Rasulallah, di zaman
Rasulallah, dan beliau taqrir (setuju) terhadap prilaku tersebut atau artinya
adalah shahabat tanpa ada penisbatan sama sekali kepada Rasulallah. Ulama juga
berselisih apakah hal itu adalah ikhbar (informasi) dari semua shahabat yang
berarti menjadi ijma’ atau hanya sebagian dari shahabat saja.
Dari hadits di atas dapat difahami dan digunakan
sebagai:
1. Dasar tentang i’tiqad bahwa fitnah kubur
adalah selama 7 hari.
2. Penetapan hukum syara' tentang disunahkannya
bershadaqah dan memberi makan orang lain di hari-hari tersebut. Serta, dapat
dijadikan dalil bahwa budaya memberi makan warga Nahdhiyyin saat hari pertama
sampai hari ketujuh dari hari kematian adalah terdapat dalil yang
mensyariatkannya.
As-Suyuthi juga mengatakan: “Sunah memberi makan
selama 7 hari tersebut berlaku sampai sekarang di Makkah dan Madinah, dan
secara zhahirnya hal itu sudah ada dan tidak pernah ditinggalkan masyarakat
sejak zaman shahabat sampai sekarang. Dan mereka mengambilnya dari salaf-salaf
terdahulu.”
Al-Hafizh Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari Abul
Fath Nashrullah bin Muhammad bahwa Nashr al-Maqdisi wafat di hari Selasa tanggal
9 Muharram tahun 490 hijriyyah di Damaskus dan kami menetap di makamnya selama
7 hari membaca al-Qur’an sebanyak 20 khataman.
Adapun melakukan acara 40 hari, 100 hari atau
1000 hari dari kematian dengan melakukan tahlilan dan bershadaqah memang tidak
ada dalil yang mengatakan sunah. Namun demikian, melakukan budaya tersebut
diperbolehkan menurut syariat. Dan seyogianya bagi yang mengadakan acara
tersebut tidak mengi’tiqadkan bahwa hal tersebut adalah sunnah dari Rasulallah,
tetapi cukup berniat untuk bershadaqah dan membacakan Al-Qur’an, yang mana
pahalanya dihadiahkan kepada mayit, sebagaimana keterangan di atas.
Bagi yang mengatakan bahwa tahlilan kematian dan budaya 7 hari, 40 hari,
100 hari dan 1000 hari adalah budaya Hindu dan melakukannya adalah syirik
karena menyerupai orang kafir (dia juga membawakan hadits tentang tasyabbuh
riwayat ath-Thabarani dan Abu Dawud), kami menjawab sebagai berikut:
1. Sebagian dari pernyataannya tentang acara
selamatan 7 hari yang katanya adalah merupakan salah satu dakwah (ajaran
syari’at) umat Hindu sudah terbantah dengan hadits-hadits di atas.
2. Andai anggapan tersebut benar adanya,
bahwasannya budaya walimah kematian 7 hari, 40 hari dan sebagainya tersebut
adalah bermula dari budaya warisan umat Hindu Jawa, sebagaimana yang di yakini
oleh bebarapa Kyai dan ahli sejarah babat tanah Jawa, dan di saat ajaran Islam
yang di bawa Wali Songo datang, budaya tersebut sudah terlanjur mendarah daging
dengan kultur masyarakat Jawa kala itu. Kemudian dengan dakwah yang penuh
hikmah dan kearifan dari para wali, budaya yang berisi kemusyrikan tersebut di
giring dan di arahkan menjadi budaya yang benar serta sesuai dengan ajaran
Islam, yaitu dengan diganti dengan melakukan tahlilan, kirim do’a untuk orang
yang telah meninggal atau arwah laluhur dan bersedekah. Maka sebenarnya jika
kita kembali membaca sejarah Islam bahwasannya methode dakwah wali 9 yang
mengganti budaya Hindu tersebut dengan ajaran yang tidak keluar dari tatanan
syariat adalah sesuai dengan apa yang di lakukan oleh Rasulallah yang mengganti
budaya Jahiliyyah melumuri kepala bayi yang di lahirkan dengan darah hewan
sembelihan dan diganti dengan melumuri kepala bayi dengan minyak zakfaron. Apa
yang di lakukan Rasulallah tersebut tersirat dalam sebuah hadits shahih riwayat
al-Hakim dalam al-Mustadrak, Abu Dawud dalam Sunan-nya, Imam Malik dalam
al-Muwaththa’ dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubrayang semuanya di riwayatkan
dari shahabat Abu Buraidah al-Aslami berikut:
كُنَّا فِى الْجَاهِلِيَّةِ
إِذَا وُلِدَ لأَحَدِنَا غُلاَمٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَّخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا
فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالإِسْلاَمِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ
وَنَلْطَخُهُ بِزَعْفَرَانٍ
“Saat kami masih hidup di zaman Jahiliyyah; saat
salah satu dari kami melahirkan seorang bayi, maka kami
menyembelih seekor
kambing dan kepala bayi kami lumuri dengan darah kambing tersebut. Namun saat
Allah mendatangkan Islam, kami menyembelih kambing, kami cukur rambut kepala
bayi dan kami lumuri kepalanya dengan minyak zakfaron”
Dengan demikian, jika budaya walimah kematian di
atas yang di isi dengan berbagai kebaikan seperti shodaqah penghormatan kepada
tamu dan bacaan ratib tahlil atau dzikir-dzikir lain di anggap sebagai sesuatu
yang keluar dari jalur syariat dan bid'ah yang sesat, maka sebenarnya anggapan
tersebut sama dengan menganggap dakwah wali songo tersebut tidak benar dan
mereka adalah pendakwah yang sesat. Na'udzu billah.
1. Tasyabbuh dengan orang kafir yang dihukumi
kufur adalah jika tasyabbuh dengan kelakuan kufur mereka, memakai pakaian ciri
khas mereka, atau sengaja melakukan syiar-syiar kekufuran bersama-sama dengan
mereka. Atau ringkasnya, tasyabbuh yang menjadikan kufur adalahtasyabbuh dengan
mereka secara mutlak (zhahiran wa bathinan). Sedangakan tasyabbuh yang dihukumi
haram adalah jika tasyabbuh tersebut diniatkan menyerupai mereka di dalam
hari-hari raya mereka.[3] Padahal kita tahu, acara selamatan sudah ada sejak
dulu dan juga selamatan tidak pernah tasyabbuh dengan kekufuran dan hari-hari
raya mereka. Andaipun tuduhan itu benar, bahwa selamatan merupakan budaya
Hindu, maka juga tidak bisa dihukumi kufur atau haram karena warga Nahdhiyyin
sama sekali tidak ada niat tasyabbuh dengan budaya mereka. Selain dari pada
itu, umat Hindu tidak pernah mengenal tahlilan sama sekali. Lalu kenapa
dikatakan tasyabbuh dan dihukumi haram? dan masihkan acara yang dilakukan oleh
warga Nahdhiyyin tersebut dianggap sebagai budaya bid’ah dan sesat?
[1] Sebagian riwayat menyebutkan Naqi (tempat
pembelian kambing).
[3] Lihat Faidh al-Qadir 6/128 (hadits no 8593)
dan Bughyatul Mustarsyidin hlm. 248