Pengertian
Tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat islam selama ini adalah berdoa
kepada Allah melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik
kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat
kepada Allah. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju
Allah SWT.
Orang yang
bertawassul dalam berdoa kepada Allah menjadikan perantaraan berupa sesuatu
yang dicintainya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai
perantaraan tersebut
Orang yang
bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah bisa
memberi manfaat dan madlorot kepadanya dan. Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu
yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan
madlorot, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi
manfaat dan madlorot sesungguhnya hanyalah Allah semata.
Banyak
sekali cara bertawassul dalam berdo’a agar dikabulkan Allah, seperti berdoa di
sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan mendahuluinya
dengan bacaan alhamdulillah dan sholawat dan meminta doa kepada orang sholeh.
Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar do’a yang kita panjatkan
diterima dan dikabulkan Allah s.w.t. Dengan demikian, tawasul adalah alternatif
dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan.
Para ulama
sepakat memperbolehkan tawassul terhadap Allah SWT dengan perantaraan perbuatan
amal sholeh, sebagaimana orang yang sholat, puasa, membaca al-Qur’an, kemudian
mereka bertawassul terhadap amalannya tadi.
,
Seperti
hadis yang sangat populer diriwayatkan dalam kitab-kitab sahih yang
menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam goa, yang pertama
bertawassul kepada Allah SWT atas amal baiknya terhadap kedua orang tuanya,
yang kedua bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang selalu menjahui
perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya dan yang ketiga
bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang mampu menjaga amanat
terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT
memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga.. (Ibnu Taimiyah mengupas masalah
ini secara mendetail dalam kitabnya Qoidah Jalilah Fii Attawasul Wal wasilah
hal: 160)
Adapun yang
menjadi perbedaan dikalangan ulama’ adalah bagaimana hukumnya tawassul tidak
dengan amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh dan
mempunyai martabat dan derajat tinggi di depan Allah SWT. sebagaimana ketika
seseorang mengatakan : “Ya Allah aku bertawassul kepada-Mu melalui Nabi-Mu
Muhammmad atau Abu bakar atau Umar dll”.
Para ulama
berbeda pendapat mengenai masalah ini. Pendapat mayoritas ulama mengatakan
boleh, namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh. Dalam setiap permasalahan apapun suatu pendapat tanpa
didukung dengan adanya dalil yang dapat memperkuat pendapatnya, maka pendapat
tersebut tidak dapat dijadikan sebagai pegangan. Dan secara otomatis pendapat
tersebut tidak mempunyai nilai yang berarti, demikian juga dengan permasalahan
ini, maka para ulama yang mengatakan bahwa tawassul diperbolehkan menjelaskan
dalil-dalil tentang diperbolehkannya tawassul baik dari nash al-Qur’an maupun
hadis, sebagai berikut:
A. Dalil
dari al-Qur’an.
أيها الذين آمنوااتقواالله وابتغوا إليه الوسيلة
أيها الذين آمنوااتقواالله وابتغوا إليه الوسيلة
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu
mendapat keberuntungan.”
( QS. Almaidah : 35 )
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya, sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti” Suat Al-Isra [17] : 57
Maksudnya:
Nabi Isa a.s., para malaikat dan ‘Uzair yang mereka sembah itu menyeru dan mencari
jalan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Lafadl Alwasilah dalam ayat ini adalah
umum, yang berarti mencakup tawassul terhadap dzat para nabi dan orang-orang
sholeh baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, ataupun tawassul terhadap amal
perbuatan yang baik-baik.
Wasilah
dalam berdoa sebetulnya sudah diperintahkan sejak jaman sebelum Nabi Muhammad
SAW. QS 12 : 97-98 mengkisahkan saudara-saudara Nabi Yusuf AS
yang memohon ampunan kepada Allah SWT melalui perantara ayahandanya yang juga
Nabi dan Rasul, yakni Nabi Ya’qub AS. Dan beliau sebagai Nabi sekaligus ayah
ternyata tidak menolak permintaan ini, bahkan menyanggupi untuk memintakan
ampunan untuk putera-puteranya QS Yusuf [12] : 97-98 :
قَالُواْ .يَا أَبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا إِنَّا كُنَّا خَاطِئِينَ. قَالَ سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّيَ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Mereka
berkata: “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)”. Nabi Ya’qub
berkata: “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah
Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Di sini
nampak jelas bahwa sudah sangat lumrah memohon sesuatu kepada Allah SWT dengan
menggunakan perantara orang yang mulia kedudukannya di sisi Allah SWT. Bahkan
QS 17:57 dengan jelas mengistilahkan “ayyuhum aqrabu”, yakni memilih orang yang
lebih dekat (kepada Allah SWT) ketika berwasilah.
Ummat Nabi
Musa AS berdoa menginginkan selamat dari adzab Allah SWT dengan meminta bantuan
Nabi Musa AS agar berdoa kepada Allah SWT untuk mereka. Bahkan secara eksplisit
menyebutkan kedudukan Nabi Musa AS (sebagai Nabi dan Utusan Allah SWT) sebagai
wasilah terkabulnya doa mereka. Hal ini ditegaskan QS 7:134 dengan istilah بِمَا عَهِدَ عِندَكَ Dengan (perantaraan) sesuatu yang diketahui Allah SWT. ada pada
sisimu (kenabian). Demikian pula hal yang dialami oleh Nabi Adam AS,
sebagaimana QS 2:37
فَتَلَقَّى آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Kemudian
Nabi Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima
taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang”.
“Kalimat
yang dimaksud di atas, sebagaimana diterangkan oleh ahli tafsir berdasarkan
sejumlah hadits adalah tawassul kepada Nabi Muhammad SAW, yang sekalipun belum
lahir namun sudah dikenalkan namanya oleh Allah SWT, sebagai nabi akhir zaman.
Bertawassul
ini juga diajarkan oleh Allah SWT di QS 4:64 bahkan dengan janji taubat mereka
pasti akan diterima. Syaratnya, yakni mereka harus datang ke hadapan Rasulullah
dan memohon ampun kepada Allah SWT di hadapan Rasulullah SAW yang juga
mendoakannya.
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللّهَ تَوَّابًا رَّحِيمًا
“Dan Kami
tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.
Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu
memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka,
tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
Bersambung……
Tidak ada komentar:
Posting Komentar