By. Azkan Ihsan
Untuk menjawab pertanyaan pada judul tulisan ini, akan anda temukan setelah anda membaca keseluruhan tulisan ini, Insya Allah...
Binatang darat yang Halal (Barri )
2. Anjing. Sebagaimana sabda Nabi SAW :
شَرُّ الْكَسْبِ مَهْرُ الْبَغِيِّ وَثَمَنُ الْكَلْبِ وَكَسْبُ الْحَجَّامِ
Sejelek-jelek pendapatan adalah upah pelacur, harga anjing dan pendapatan tukang bekam. [HR.Muslim No. 1568] Dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. [al-A’raf : 157].
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ وَالْعَقْرَبُ وَالْحُدَيَّا وَالْغُرَابُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ
Untuk menjawab pertanyaan pada judul tulisan ini, akan anda temukan setelah anda membaca keseluruhan tulisan ini, Insya Allah...
Binatang darat yang Halal (Barri )
Yaitu
binatang yang sebagian besar hidupnya di darat, baik dari jenis hewan maupun
burung. Binatang darat ini ada yang suci (halal), seperti: al-An’am (binatang
ternak) yaitu onta, sapi, kambing,dan kuda. Asma’ binti Abu
Bakar yang berkata:
نَحَرْنَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَرَسًا فَأَكَلْنَاهُ
Pada zaman Nabi SAW kami menyembelih kuda kemudian kami memakannya.” Dalam [Muttafaq Alaih].
Pada zaman Nabi SAW kami menyembelih kuda kemudian kami memakannya.” Dalam [Muttafaq Alaih].
Binatang Darat
Yang Haram.
Haram Dimakan Karena Binatangnya Sendiri (Zatnya). Seperti:
Haram Dimakan Karena Binatangnya Sendiri (Zatnya). Seperti:
1.
Babi. Diharamkan
bagimu [memakan] bangkai, darah, daging babi, [daging hewan] yang di sembelih
atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk,
dan yang diterkam binatang buas kecuali yang kamu sempat menyembelihnya, dan
yang disembelih untuk berhala. [Al-Maidah :3]
2. Anjing. Sebagaimana sabda Nabi SAW :
شَرُّ الْكَسْبِ مَهْرُ الْبَغِيِّ وَثَمَنُ الْكَلْبِ وَكَسْبُ الْحَجَّامِ
Sejelek-jelek pendapatan adalah upah pelacur, harga anjing dan pendapatan tukang bekam. [HR.Muslim No. 1568] Dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. [al-A’raf : 157].
Dalam
kaidah Ushul juga dikenal Qiyas aula, yaitu kalau harganya saja diharamkan atau
sebagian tubuhnya saja mesti disucikan, maka lebih diharamkan memakan
binatangnya.
Sabda
Rasulullah SAW
مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا إِلَّا كَلْبَ صَيْدٍ أَوْ مَاشِيَةٍ نَقَصَ مِنْ أَجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ
مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا إِلَّا كَلْبَ صَيْدٍ أَوْ مَاشِيَةٍ نَقَصَ مِنْ أَجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ
Barangsiapa
memelihara anjing yang bukan untuk berburu atau anjing untuk menjaga tanaman,
maka kebaikannya akan berkurang dua Qirath’ setiap hari. [HR. Muslim dari Ibnu Umar]
3. Binatang
Bertaring
Yang Dengan Taringnya Ia Memangsa Dan Menyerang Musuhnya Dari Abu
Hurairah, Rasulullah SAW bersabda. كُلُّ ذِي نَابٍ
مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ
Semua
binatang yang bertaring, maka memakannya adalah haram.[HR.muslim].
Juga
apa yang diriwayatkan oleh Idris Al-Khalulani, dia mendengar Abu Tsa’labah
al-Khutsani berkata.
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِعَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِعَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ
Rasulullah
melarang memakan semua binatang yang mempunyai taring. [HR. Muslim : No 1932]
4. Burung Berkuku Tajam Yang Dengan Kukunya Ia Mencengkeram
Atau Menyerang Musuh-musuhnya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى
يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ وَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ
مِنَ السِّبَاعِ
Bahwa
ketika perang Khaibar, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang
memakan semua burung yang mempunyai kuku panjang dan setiap binatang buas yang
bertaring. [HR.Muslim]
Burung
yang berkuku di atas adalah yang buas, sehingga tidak termasuk sebangsa ayam,
burung merpati dan sejenisnya. Abu Musa Al As’ariy Radhiyallahu 'anhu berkata:“Saya
melihat Rasulullah memakan daging ayam.” [Muttafaq Alaih]
5. Binatang yang diperintahkan untuk dibunuh, Disebutkan
dalam hadits Nabi SAW:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ وَالْعَقْرَبُ وَالْحُدَيَّا وَالْغُرَابُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ
Dari
Aisyah RA Rasulullah bersabda: “Lima binatang jahat yang boleh dibunuh, baik di
tanah haram atau di luarnya: tikus, kalajengking, burung buas, gagak, dan
anjing hitam. [HR.Bukhari No;3136]
Termasuk
binatang yang diperintahkan untuk dibunuh adalah cecak, seperti yang
diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash, dia berkata :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِ
الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا
Bahwa
Nabi SAW memerintahkan untuk membunuh
cecak, dan beliau dinamakan Fuwaisiqah (binatang jahat yang kecil)”. [HR.
Muslim]. Pada riwayat lain Nabi bersabda:
مَنْ قَتَلَ وَزَغًا فِي أَوَّلِ ضَرْبَةٍ كُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ
حَسَنَةٍ وَفِي الثَّانِيَةِ دُونَ ذَلِكَ وَفِي الثَّالِثَةِ دُونَ ذَلِكَ
Barangsiapa
membunuh cecak dengan sekali pukulan, ditulis baginya seratus kebajikan,
barangsiapa yang membunuhnya pada pukulan yang kedua maka baginya kurang dari
itu, dan pada pukulan yang ketiga baginya kurang dari itu. [HR. Muslim]
6.
BinatangYang Dilarang Dibunuh. Dalam riwayat Ibnu Abbas, beliau
berkata:
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ
قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ النَّمْلَةُ وَالنَّحْلَةُ وَالْهُدْهُدُ
وَالصُّرَدُ
Sesungguhnya
Nabi SAW melarang membunuh empat jenis binatang, yaitu: semut, lebah, burung
hud-hud dan burung shurad (sejenis burung gereja). [HR. Abu Daud, No; 5267].
Sebagian
ulama berpendapat bahwa kodok termasuk dalam hal ini. Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Utsman, seorang thabib (dokter) datang kepada
Rasulullah SAW dan bertanya tentang kodok yang dibuat menjadi obat, dan Nabi SAW
melarang membunuhnya. [HR.Ahmad, Nasa’i dan dishahihkan oleh Al-Hakim]. Kodok bisa hidup di dua tempat di air dan di darat, seperti
halnya buaya, maka sebagia ulama mengharamkannya.
7.
Binatang Yang Lahir Dari Perkawinan Dua Jenis Binatang Yang Berbeda, Yang Salah Satunya Halal Dan Yang Lainnya Haram. Hal ini karena memasukkannya ke
binatang yang haram lebih baik dari menghubungkannya kepada induknya yang
halal. Seperti Bighal yang lahir dari keledai negeri yang haram dimakan dan
kuda yang boleh dimakan.
8.
Binatang Yang Menjijikkan. Semua yang menjijikkan -termasuk
binatang - diharamkan oleh Allah. Sebagaimana firmanNya : وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ Dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.
[al-A’raf : 157].
Namun
kriteria binatang yang buruk dan menjijikkan pada setiap orang dan tempat pasti
berbeda Jika ia mirip dengan binatang yang haram maka diharamkan, dan
sebaliknya. Tetapi jika tidak ada yang mirip dengan binatang tersebut maka
dikembalikan kepada urf (tradisi) penduduk setempat. Kalau kebanyakan
menganggapnya tidak menjijikkan, Imam at-Thabari membolehkan untuk dimakan,
karena pada asalnya semua binatang boleh dimakan, kecuali kalau itu
membahayakan.
Bahrii
(Binatang Laut) Yaitu binatang yang tidak bisa hidup kecuali di dalam air, jika
tinggal di darat dalam waktu yang lama akan mati.
Adapun
binatang air yang sekali-kali bisa hidup di darat, seperti kepiting, dan
lainnya, maka menurut jumuhur ulama dari mazhab Maliki, Syafii, dan Ahmad
adalah suci dan boleh dimakan. Inilah yang lebih kuat karena keumuman hadits
Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, beliau bertanya kepada Rasulullah
tentang berwudhu’ menggunakan air laut, Nabi bersabda: هُوَ الطَّهُورُ
مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ Laut itu suci airnya dan halal bangkainya. [HR.Tirmidzi,
No.69]
Adapun
binatang laut yang mempunyai nama dan bentuk seperti binatang darat misalnya
anjing laut, babi laut, maka terjadi perbedaan pendapat di antara ulama.
Mayoritas ulama mengatakan boleh dimakan, karena keumuman hadits yang
menyebutkan air laut suci dan bangkainya boleh dimakan. Namun sebagian di
antara mereka mengharuskan untuk disembelih terlebih dahulu karena termasuk
binatang yang mempunyai darah yang mengalir dan ini juga agar lebih cepat
terbunuhnya. [Majmu’ Syarah Muhazzab, Imam An-Nawawi, kitab al-Ath’imah]