Metode yang digunakan dalam masalah
ini sebagaimana “Jumhur (mayoritas) ulama yaitu mendekati riwayat-riwayat
tentang Shalat Tarawih dengan metoda al-Jam’u, yaitu : menerima, menggabungkan dan mengkompromikan
seluruh riwayat yang shahih. Walaupun sebagaian ulama mendekatinya dengan
metoda tarjih; yaitu menerima riwayat yang dianggap paling unggul dan
meninggalkan riwayat yang dinilai terungguli.
Dasar
pertimbangan jumhur adalah:
Riwayat
yang 20 (21, 23) rakaat adalah shahih;
Riwayat
yang 8 (11,13) rakaat adalah shahih;
Sudah
kita maklumi bahwa para ulama salaf membolehkan shalat tarawih dengan jumlah
rakaat yang beragam, misalnya 11, 13, 17, 19, 21, 23, 25, 29, 35, 39, 41, dan
49. Ini tidak berarti bahwa kedudukannya sama saja dari segi keutamaan.
Oleh karena itu para ulama salaf berselisih tentang jumlah bilangan
rakaat yang paling utama menjadi 3 kelompok :
Pertama: Yang paling utama adalah 20
rakaat, ditambah dengan 1 rakaat atau 3 rakaat witir sesudahnya. Ini
pendapat ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, al-Hanafiyyah (pengikut imam Abu Hanifah),
dan al-Malikiyyah dalam pendapat mereka yang diandalkan, asy-Syafi’iyyah,
al-Hanabilah (pengikut Imam Ahmad), Daud az-Zhahiri dan yang dipilih oleh Syekh
Muhammad ibn Abdul Wahhab. Dasarnya adalah praktek para sahabat di masa
khulafaur Rasyidin, yang terus berlanjut hingga hari ini. (Lihat: Syarhus Sunnah, 4/123; Fathul Qadir, 1/466-468;
al-Majmu’, 4/13, 32; Muallafat Syekh Munammad ibn Abdul Wahhab; dll)
Kedua: Yang paling utama adalah 11
rakaat ( 8 rakaat ditambah 3 witir).
Ini madzhab al-Bukhari, dan dari kalangan Syafi’iyah: Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Hajar, as-Suyuthi dan al-Haitami, dan dipilih oleh al-Mubarakfuri, Abdul Aziz
Ibn Baz, Muhammad Ibn Shalih al-Utsaimin, Muhammad Nashiruddin al-Albani dan
lain-lain. Dasarnya adalah shalat Rasulullah Sholallohu `alaihi wa sallam . (Lihat: Fathul Bari, 4/254; 3/12; al-Mashabih fi Shalatit
Tarawih, 35-36; Tuhfatul Ahwadzi, 3/523; Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah,
11/323; Syarhul Mumti’, 4/68 dll)
Ketiga: Yang paling utama adalah 36
rakaat atau lebih. Pengikut madzhab ini berselisih: Malikiyyah dalam
satu pendapat memilih 39 rakaat dengan witirnya. Ishaq ibn Rahawaih—rival Ahmad
ibn Hanbal, hafizh mujtahid, tsiqah, wafat 238 H– memilih 41 rakaat, sedang
al-Aswad ibn Yazid—seorang tabi’in yang wafat tahun 74 atau 75 H– memilih 49
rakaat. Dasar 36 rakaat adalah praktek shalat tarawih di Madinah pada zaman
Umar ibn Abdul Aziz dan Aban Ibn Usman—seorang tabi’in, tsiqh, wafat tahun 105
H–. Al-Baji mengatakan: “Inilah amalan para imam dan yang disepakati oleh
pendapat jamaah, maka ia lebih utama karena meringankan. (Lihat: al-Istidzkar, 5/157; Mushannaf Ibn Abi Syaibah,
2/393; Fathul Bari, 4/253; al-Mudawwanah al-Kubra, 1/222; dll)
Bilangan Yang Paling Utama Pada Zaman Ini
Dan
shalat yang terbaik secara zhahir adalah yang paling panjang bacaannya, paling
lama berdirinya. Rasulullah Sholallohu `alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ طُوْلُ
اْلُقنُوْتِ
“Sebaik-baik
shalat adalah yang panjang berdirinya.” (HR Muslim dari Jabir RA, 756) Dalam
riwayat Abdullah ibn Khunais al-Khas’ami:
أفضل الصلاة طول القيام
“Sebaik-baik
shalat adalah yang panjang berdirinya.” (HR.alMuntaqa syarah Muwaththa’ 1/209)
Dengan
demikian, yang terpenting dalam shalat tarawih dan lainnya adalah menjaga
kesempurnaannya, kekhisyu’an, perenungan dan doa di dalamnya.
Jika
lama waktu mengerjakannya antara 11 rakaat dan 23 rakaat adalah sama, maka 11
rakaat lebih baik. Pokoknya bilangan mana saja yang yang waktu pelaksanaannya
lebih lama dari yang lain, tanpa adanya keberatan dari jamaah maka itu yang
lebih utama bagi jamaah.
Menurut
DR. Abdur Rahim ibn Ibrahim al-Hasyim bahwa yang nampak jelas adalah:
menegakkan tarawih dengan 11 rakaat ringan dengan menjaga kesempurnaannya dan
kekhusy’annya lebih baik daripada 23 rakaat yang dilakukan dengan mutu yang
sama. Karena mengerjakan 23 rakaat ringan dengan menjaga kesempurnaan dan
menikmatinya adalah jarang dan langka, disamping memberatkan banyak imam dan
banyak jamaah .
Ibnu
Mas’ud Rohimahulloh meriwayatkan bahwa seseorang berkata : Demi Allah , wahai
Rasul Allah, sesungguhnya saya sengaja tidak menghadiri jamah subuh karena
imamnya memperpanjang shalat.” Maka saya tidak pernah melihat rasulullah
Sholallohu `alaihi wa sallam dalam satu mau’izhah yang lebih murka daripadanya.
Kemudian beliau bersabda:
إِنَّ مِنْكُمْ مُنَفِّرِيْنَ فَأَيُّكُمْ صَلَّى
بِالنَّاسِ فَلْيَتَجَوَّزْ فَإِنَّ فِيْهِمُ الضَّعِيْفَ وَالْكَبِيْرَ وَذَا
الْحَاجَةِ
“Sesungguhnya
diantara kalian ada yang membuat lari jamaah. Maka siapa diantara kalian yang
menjadi imam hendaklah mempercepat shalatnya, karena di tengah mereka ada yang
lemah, lanjut usia, dan orang yang memiliki keperluan.” (HR. Bukhari, 702)
Dari
Abu Hurairah Rohimahulloh , Rasulullah Sholallohu `alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلَّناسِ فَلْيُخَفِّفْ
فَإِنَّهُ مِنْهُمْ الضَّعِيْفُ وَالسَّقِيْمُ وَالْكَبِيْرُ وَإِذَا صَلَّى
أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ
“Apabila
salah seorang kamu memimpin shalat maka ringankanlah, karena ditengah mereka
ada yang lemah, sakit, dan lanjut usia. Dan apanila shalat untuk dirinya maka
panjangkanlah sesukanya.” (HR.Bukhari, 703)
Akan tetapi Jika 23 rakaat dilakukan dengan penuh kekhusyu’an
berdasarkan ridha semua jamaah, dalam waktu yang lebih lama dari yang 11
rakaat, maka pada kondisi seperti ini tarawih 23 rakaat lebih utama. Inilah
yang menjadi motivasi para sahabat Nabi Sholallohu `alaihi wa sallam saat
melakukan tarawih 20 rakaat, karena ketidak mampuan mereka untuk melakukan 11
rakaat panjang-panjang.
Imam
Syafi’I berkata: “Dalam masalah ini tidak ada kesempitan, tidak ada batasan
akhir, karena ia adalah nafilah (tambahan dari shalat wajib). Jika mereka
memperpanjang bacaan dan menyedikitkan jumlah sujud maka baik dan lebih saya
sukai. Jika mereka memperbanyak rukuk dan sujud maka juga baik.” (Mukhtashar
Qiyamullail wa Qiyam Ramadhan, 96)
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا
غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang
siapa melakukan shalat tarawih karena iman dan mencari pahala Allah, maka
diampuni apa yang telah lalu dari dosa-dosanya. (HR. Bukhari, 37, 1904, 1905;
Muslim, 759)
Semoga
kita dapat menikmati Ramadhan ini dan mendapatkan semua kebaikannya. Amin.
(Sumber: Agus Hasan Bashori, Shalat Tarawih
Nabi Sholallohu `alaihi wa sallam dan Salafus Shaleh,; DR. Abdur Rahim ibn
Ibrahim as-Sayyid al-Hasyim, Hukm at-Tarawih waz-Ziyadah Fiha ‘Ala Ihda
“Asyrata Rak’ah, Dar ibnul Jauzi, cet. I, 1426)